燕 (II)

Jumat, 12 Oktober 2012


'Aku akan menjagamu hingga kau beranjak dewasa! Itu tugas seorang abang, 'kan? Hihi.'

'Ngg, kau itu bodoh atau apa sih?'

'NANI?!'

'...ya sudahlah. Lakukan saja semaumu.'

'Ck! Kau ini! Adik macam apa, heh?'

'...'

'Oi, Sasuke!'

'...Naruto, jangan terlalu terikat pada apapun itu, terutama pada orang lain. Nanti... ah tidak, suatu saat, kau pasti akan membenci orang itu saat ia memutuskan untuk bergerak menjauh darimu.'
.

Tsubame
(II)
.

Burung-burung walet terbang meninggalkan sarangnya meski udara membuat kelembaban menurun drastis. Hujan masih merintik dan ia memilih berdiam diri mengamati burung-burung itu hinggap di kabel listrik yang menggantung. Pemukiman demi pemukiman dilaluinya dengan payung berwarna coklat kotak-kotak menaungi kepalanya dari air yang tumpah di langit. Porsche Sasuke masih tertidur dalam garasi, lagipula ia tak pandai mengemudikan mobil mahal semacam itu. Ia merasakan getaran dari ponsel milik Sasuke. Sebuah e-mail masuk. Tanpa membaca nama pengirim e-mail itu, ia sadar ia telah melakukan sebuah kesalahan besar. Kealpaannya membuat delik kasus untuk headline besok membuatnya berlari dengan cemas. Sesampainya di halte bus, buru-buru ia masuk tanpa memperhatikan sekitarnya. 

Namun, ia bukan Naruto saat ini. Ah, tidak. Ia masih Naruto di dalam Sasuke. Err, ataukah Sasuke di luar Naruto. Cukup membingungkan.

Karenanya, ia memutuskan untuk kembali ke tempat kejadian perkara transaksi politisi korup yang masih harus diawasinya. Menurut kabar burung, politisi korup bernama Hidan (nama sandi) lagi-lagi akan membuat transaksi pembelian senjata api dari sebuah geng mafia Cina. Tugas yang dibebankan pada Uchiha Sasuke dan Namikaze Naruto oleh bos mereka—si mesum Jiraiya—adalah mengawasi dan mengambil kutipan fotografi terselubung secara diam-diam. Jika pengintaian mereka sukses, keduanya akan diberi kenaikan pangkat, dalam artian bagi Naruto adalah kenaikan gaji sedangkan bagi Sasuke adalah kesempatan emas untuk dipromosikan sebagai mata-mata kepolisian Tokyo. Tidak masalah bagaimana tanggapan masing-masing dari keduanya, toh setelah ini mereka akan berpisah. Ya.

“Ah, Ero—err, maksudku, Jiraiya-san—ini aku, Sasuke,” ujarnya dari balik telpon, “aku sedang dalam perjalanan menuju Ginza Hotel. Maaf aku terlambat—“

Sou, sou, wakatta. Tenang saja, Sasuke. Si bodoh Naruto itu sudah tiba di sana sejak setengah jam yang lalu. Geez, dia itu. Sudah telat bangun, lupa membuat headline pula. Ck, ck. Dan, ya, ya.”

Ada rasa senang yang meluap dari dasar hatinya. Tidak perlu mendapatkan teriakan dan cemoohan langsung dari bosnya dan seolah ia tak melakukan kesalahan fatal. Yah, sebab mereka memang sedang bertukar jiwa, bukan? Jadi, itu bukan salahnya juga. Entah kenapa, senyum aneh mengembang dari bibir tipis yang sama sekali bukan miliknya itu.

Nee, bagaimana rasanya hidup di dalam tubuhku, Sasuke? Menyenangkan, bukan?’

Di balik seringainya, ia membuat sebuah doa yang mengancam. Meskipun demikian, ia takkan pernah mampu melihat sisi lain di balik rencana Kami-sama untuknya. Ya, tentu.

Well, mempersatukan dua jiwa dan hati yang saling membenci memang sulit, ‘kan?


“Cih, senjata murahan begini hanya bisa dibayar rendah. Menurutmu wajar jika aku memberikan lebih dari sepuluh tas berisi emas batangan hanya untuk misil-misil bekas semacam ini? Bosku hanya menginginkan produk yang terbaik, kau tahu. Kami, Nihon jin, sangat peka dengan kasus transaksi ini. Produk terbaik hanya akan dibayar dengan barang yang setimpal.”

Ia berambut putih, beruban mungkin, tetapi bercahaya di bawah pantulan glass roof Hotel Ginza. Hanya ada tapak-tapak kaki bersepatu pantofel mengkilat menghiasi karpet burgundi berbulu. Sesekali, pria-pria berkacamata hitam mendelik jika bos mereka mengerutkan kening. Bersiap dengan pistol yang tersimpan dalam jas atau kalau perlu segera mungkin menembaki satu per satu anak buah politisi korup degan codename Hidan itu. Nama disamarkan, untuk kepentingan asas praduga tak bersalah. Toh, pelaku kejahatan seperti itu akan mati dipenggal atau dieksekusi dengan kursi listrik oleh negara. Wajah-wajah penuh peluh, keringat membasahi disertai dengan gemeretuk gigi yang dilapisi emas. Senyum spontan menghiasi bibir Hidan. Check mate untuk korbannya.

“Kami akan mengirim stok terbaru jika kami berhasil menembus garis batas. Akhir-akhir ini sangat sulit untuk kami melewati detektor nuklir. Senjata yang kalian pesan memiliki tingkat radiasi yang cukup tinggi.” ujar pria berkepala plontos dan bergigi tonggos. Kedua matanya terlalu sipit, tidak jelas apa ia melihat lawan bicaranya atau tidak. Hidan bertepuk tangan dan membenturkan punggungnya ke arah sandaran sofa mahal yang didudukinya.

“Oh. Begitu? Kalian sudah kuberi kesempatan dua kali dan haruskah ada yang ketiga kalinya? Yah, yah—“ Ia menggaruk kepala, meneleng, dan memberi kode pada anak buahnya. Kokangan senapan dan pistol dengan peredam tertuju pada mafia-mafia Cina, “—dengar ya, botak. Katakan pada bos kalian bahwa Pein-sama hanya menginginkan kualitas terbaik. Aku tahu kalian hanya menunda-nunda waktu hingga nilai tukar emas batangan menjadi lebih tinggi. Kalian pikir aku cukup mudah dibodohi dengan hal sepele seperti itu, heh? Waktuku sangat sempit dan setelah ini aku harus kembali ke gedung parlemen dan mengerjakan draft-draft fantastis yang tidak ada artinya jika disandingkan dengan pekerjaanku ini. Nah, kalau kalian tetap bersikukuh tidak ingin memberikan barang terbaik kalian, kurasa... apa artinya hidup, hm?”

“Ba-baik. A-akan segera kuberikan padamu. Tapi... kami tidak bisa memberi jaminan saat ini juga. Kami... harus kembali ke pelabuhan terlebih dahulu. Suplai barang kami yang berhasil diselendupkan via laut semuanya kami simpan di sana.”

Hidan mengangguk-angguk, “oke. Kami ikut kalian. Hanya... untuk memastikan kalian tidak berani kabur begitu saja.”

...

...

...

‘...oke. Kami ikut kalian. Hanya... untuk memastikan saja bahwa kalian tidak berani kabur begitu saja.’

Souka? Kurasa, alat penyadap yang kuletakkan di kamar Naruto masih berfungsi. Lebih baik jika digunakan di saat-saat seperti ini saja.’

Ia bersembunyi di rimbun pepohonan tak jauh dari gedung beratapkan kaca yang menjadi saksi biksu percakapan dua arah antara Hidan dan mafia Cina. Percakapan yang berhasil terekam olehnya cukup meyakinkan meski rentetan kalimat sedikit ambigu oleh faktor desing dari rambatan elektromagnetik sinyal ponsel dan udara. Beberapa jam sebelum orang-orang berotak kriminal itu tiba di gedung pertemuan mereka, Naruto (Sasuke) terlebih dahulu tiba di sana dengan menyamar menjadi salah satu dari anggota geng mafia itu. Bekas tuxedo dan dasi hitam Naruto yang dikenakannya tepat saat pesta besar yang diadakan oleh kantor direksi mereka tampak menggantung di antara deretan pakaian yang belum disetrika. Tanpa pikir panjang, Sasuke segera menariknya.

Ck, kusso. Kenapa aku berada dalam tubuh Naruto. Fenomena gila apa ini, tsk. Bahkan, aku tak sempat menemukan tubuhku. Jika saja... Argh, si bodoh ini bahkan membuat ponselnya mati di detik-detik terakhir Jiraiya menelponnya.’

 Dengan kasar, Sasuke membanting ponsel flip milik Naruto. Kembali ia memposisikan dirinya pada hasil sadapannya. Hidan dan kawan cecurutnya akan meninggalkan gedung itu sebentar lagi. Tak ada waktu lebih lama hanya untuk menunggu harapan terakhir yang akan tiba bak demi fortuna untuknya. Sasuke yang terjebak dalam tubuh Naruto bergeming dan diam sesaat. Memutar otak dan lari secepat mungkin di balik bayangan. Mengikuti Hidan dan mafia Cina itu jauh lebih penting dibandingkan mempermasalahkan apa yang terjadi pada dirinya—hanya mimpi, pasti hanya mimpi, pekiknya dalam hati.

...tetapi, mengapa terasa begitu nyata?

Saat memejamkan mata terlalu lama, alhasil hanya pening bercampur kebingungan. Nyeri terasa meski sangat minim di keningnya. Sembari memijit-mijit pelipisnya perlahan, Sasuke mencabut headset mini yang tersambung dengan recorder pelacaknya. Jika ini satu-satunya hal untuknya memahami Naruto, ia akan menjalaninya.

...apa kau yang saat ini berada di dalam tubuhku, eh Naruto?



Memo maupun catatan kecil tak tertulis sedikit pun di pintu kulkasnya. Ah, benar juga. Yang saat ini di dalam tubuhnya adalah Sasuke—mungkin saja. Wanita bernama Kurenai Yuuhi—ibunda Konohamaru, si bocah kelas 5 SD yang sering main ke apartemennya—tampak kebingungan. Pagi-pagi tadi seorang tukang reparasi kunci tiba secara mendadak oleh panggilan sang suami yang minta tolong agar dibuatkan kunci cadangan untuk Naruto—yang dalam hal ini adalah Sasuke. Ingin sekali rasanya menampar diri sendiri, pikir Naruto. Kunci apartemennya memang ada di tangan Sasuke saat ini, lalu kenapa malah ia yang pusing ribuan keliling? Hasil yang nihil membuatnya mencari jalan keluar yang lebih ekstrem. Naruto mendobrak pintu apartemennya sendiri di saat orang di sekitar apartemennya tampak tak berlalu lalang. Hujan pun masih menderas dan mengaburkan suara keras yang ditimbulkannya.

Hipotesisnya tampak nyata. Sasuke berada dalam tubuhnya. Karena itu, ia tak bisa pulang dengan cara seperti ini. Keanehan ini membuatnya semakin sulit menerima kenyataan akan dendam yang tersimpan apik di dalam jiwanya pada pemuda Uchiha itu. Melihat kini yang menaungi jiwanya adalah sosok yang ingin sekali dihancurkannya, pikirnya kenapa ia tak rusaki saja tubuh itu—contohnya saja dengan membenturkan kepalanya keras-keras ke tembok hingga berdarah? Atau, meminum racun dan menenggelamkan diri ke dalam bak yang dipenuhi balok es? Salah satunya sudah ia coba dan hasilnya ialah: ia frustasi oleh rasa nyeri di jidatnya. Bodoh.

Tampaknya, meski masuk ke dalam tubuh Sasuke yang notabenenya memiliki fungsi organ nyaris sempurna pun, kebodohannya sebagai seorang Namikaze Naruto tidak mengurang. Tetap saja, dalamnya memang Namikaze Naruto, ‘kan?

“Sial, tetap saja sakit. Grr.” geramnya sembari mengacak-acak tumpukan baju yang belum dicuci. Biasanya ia meletakkan ponsel keduanya di antara tumpukan baju itu—taktik pengamanan dari serbuan perampok. Benar saja, ponsel keduanya itu terisi oleh list-list e-mail dari bosnya—Jiraiya. Sasuke mungkin tak menyadari keberadaan ponsel kedua Naruto itu. Dan, ia yakin, si tampan Uchiha itu juga tidak mengisi baterai ponsel yang tersangkut di saku celananya.

Yang didapatkannya di antara list email dengan nama Ero-sensei alias Jiraiya sebagai nama pengirim adalah satu pesan yang membuat pemuda itu membelalakkan mata tak percaya. Jika kebodohan ada batasnya, seharusnya sok pintar pun ada batasnya. Jika terjadi sesuatu hal, sekecil apapun itu, pada tubuhnya, Naruto takkan pernah memaafkan Sasuke seumur hidupnya—bahkan kalau perlu hingga ke liang kuburnya kelak. Tanpa berpikir panjang, Naruto berlari mengejar sosok yang telah terlebih dahulu menemui segerombolan mafia dan antek-anteknya seorang diri di Port of Tokyo—Pelabuhan Tokyo.

“Sasuke-baka, awas saja ya kalau kau malah bergerak sesuka hati dengan tubuhku.”

Naruto mengikuti insting dan kata hatinya. Menyusuri jalan demi jalan dan rute demi rute hingga tiba di satu-satunya pelabuhan terluas di Tokyo itu. Dengan motor ninja yang masih terparkir mulus dalam ruang parkir kendaraan apartemennya, ia melesat pergi dengan kecepatan penuh. Tak peduli pada lampu lalu lintas yang terlalu lama membuatnya terhenti di titik yang sama, ia menekan gas dan berlalu. Sesekali pula ia menoleh, melirik ke kanan dan kiri, memantau jika ada bahaya yang mendekat. Sebentar lagi ia akan tiba di pintu gerbang pelabuhan Tokyo. Dan, jantungnya turut mengikuti ritme adrenalin yang meningkat—berdegup teramat kencang kemudian.

Nafasnya memburu. Ia melihat jelas kesibukan yang tampak di berbagai sudut pelabuhan. Bau garam bercampur dengan berbagai aroma makanan laut yang masih segar. Hidungnya terlalu sensitif. Karenanya, ia berakhir dengan bersin berulang kali hingga cairan pekat tak berwarna mengucur dari sudut lubang hidungnya. Naruto lagi-lagi mengutuk betapa lemahnya tubuh Sasuke. Dan, ia cukup menderita di balik kebahagiaan. Cukup mengenaskan.

Di mana si sialan itu, heh? Mencari dengan cara seperti ini terlihat konyol saja. Paling tidak, aku harus tahu di mana kira-kira politisi korup bernama Hidan itu melakukan transaksi pembelian senjata radiasi dari mafia Cina itu. Siang-siang begini berani juga ya mereka. Tsk.’

Boks-boks berukuran raksasa bertumpuk satu sama lain. Kargo yang terlihat mencurigakan itu berada di sebuah gudang besi dengan tulisan peringatan cukup besar di sisi depannya. Naruto segera berhenti di sana dan memperhatikan keanehan yang terjadi. Tampak tak ada satu pun penjaga atau polisi perbatasan yang biasanya akan berlalu lalang di sekitar kargo muatan. Kali ini, Naruto muncul dengan sedikit kecerdasannya. Ia menyimpulkan lain dan bertindak seolah ia adalah penyidik kepolisian atau detektif swasta yang sedang mengawasi sebuah kasus besar.

Sou. Cukup misterius untuk ukuran barang impor yang masuk. Tidakkah orang-orang itu juga harus menjaga di sini, eh? Dan—‘

Burung-burung walet terbang tepat di atas kepalanya, terlalu jauh jika harus digapai dengan tangan kosong. Sebuah fenomena yang terlalu abnormal, terlebih ia paham ia masih berada di pelabuhan. Tsubame tak seharusnya berada di tempat seperti ini. Burung-burung itu pun terbang membuat formasi angka nol dan meleburkan diri menuju satu titik di atas kargo muatan itu. Lalu, mereka kembali terbang. Insting Naruto mengatakan ia harus masuk ke dalam gudang itu, apapun caranya.

Bisik-bisik yang terdengar samar dari arah dalam membuatnya berusaha mencari celah untuk masuk. Tepat di belakang, ia mendapatkan pintu besi yang tak dikunci rapat. Dengan sekali dobrak, pemuda itu menyisip masuk dan menapak seolah ia adalah tikus dalam paralon. Berhati-hati ia melangkah dan mendapatkan gelap yang sangat nyata bercampur dengan aroma busuk yang sulit dijabarkan.

Tepat di ujung pintu yang lain, ia menemukan setitik cahaya yang berasal dari ruangan kosong dan begitu luas. Mungkin ada beberapa boks kargo muatan berisi senjata yang dimasukkan oleh si mafia melalui jalur laut secara ilegal di dalam sana. Bau mesiu dan aroma-aroma aneh lainnya turut merusak indera penciumannya. Dan—ia harus menahan bersin—hal yang satu ini sangat sulit, bukan? Keributan lalu memekik dari arah sana dan Naruto sebaiknya sudah bisa memprediksi siapa tokoh utama yang sedang diikat dengan posisi terbalik. Darah mengucur deras setelah beberapa kali mendapatkan pukulan demi pukulan dari stick baseball oleh pria berbadan kekar yang mengelilinginya.

“Sa-Sa-SASUKEEEE!”

Tidakkah itu salah? Semestinya ‘Naruto’, ‘kan?

Kebencian memang absurd, tetapi kenyataan bahwa selamanya tak bisa membenci jauh lebih absurd dari kebencian itu sendiri. Seharusnya, masing-masing dari mereka bisa menyadarinya.

Cepat atau lambat...

...kebencian itu adalah lambang dari suatu keterikatan yang unik.

Contohnya saja, yin dan yang.

Amarah membuncah, terlihat dari pancaran matanya. Logika tak lagi bekerja. Emosi apapun yang awalnya mendominasi kini berubah. Semuanya hancur dan retak.

“BRENGSEK KALIAN SEMUA!”

Teriaknya. Pekiknya. Amuknya. Amarahnya. Geramnya.

Itu... aku?’

“Bukan bodoh! Ini aku!

“Tsk. Kem... balikan tubuhku, dobe.”

“Cih, like hell. Tidak sampai kau merasakan penderitaan yang juga kurasakan.”

“...”

“Sudah beruntung bisa masuk di tubuhku pun, kau tetap saja lemah begini, heh? Pantas saja, ayah menangisimu di saat-saat terakhirnya. Kau benar-benar payah, teme.”

“Hn.”

“Sudah, pulang dan tidur saja sana. Kau tidah perlu mempermasalahkan urusan pintu apartemenku, soalnya... aku sudah merusaknya tadi. Lalu... aku sudah membereskan orang-orang tolol itu. Kalau pun masih ada yang tersisa, paling-paling hanya si Hidan itu. Sebentar lagi polisi patroli akan tiba. Ternyata semua yang bekerja di sekitar Pelabuhan Tokyo sudah disuap oleh Hidan ini. Tsk. Tidak lama orang itu akan mendekam selamanya dalam penjara atau yang paling buruk akan mendapatkan hukuman mati.”

Sasuke merasakan tubuhnya seperti kapas. Begitu ringan dan hangat. Ah benar. Meski darah mengalir deras dari sudut bibirnya—bibir Naruto—ia masih bisa mendapatkan kehangatan yang terpancar dari tubuhnya sendiri. Rasanya begitu aneh jika harus sedekat ini dengan benda objek yang begitu sulit ‘tuk disentuh. Dan, kali ini ia malah merusaknya. Haruskah ia meminta maaf?

“Dan, kurasa kita setimpal.”

“Hn?”

“Hahh, tadi... aku sempat membenturkan kepalaku—eh maksudku kepalamu—ke tembok. Berharap semoga kau juga merasakan efek benturannya hingga berdarah. Dan... hasilnya sama saja. Yang sakit adalah aku. Bagaimana pun juga—“ Naruto berhenti, membiarkan Sasuke melangkah sederajat dengannya, “—tubuh yang sekarang jiwamu berada adalah aku dan aku yang saat ini berada di tubuhmu. Tidak ada hubungannya sama sekali.”

Maksudnya?’

“Ngg, bagaimana aku membahasakannya ya? Err—“

“Kau—“

“Apa?”

“Kau bicara.”

Sudut kening membentuk segitiga siku-siku. Tampak seperti Sasuke dengan in mode of Naruto, “jeez, memangnya dari tadi yang kulakukan memangnya bukan bicara ya? Kau ini, sangat mengerikan tauk. Wajahmu kaku seperti batu. Wajahku tidak cocok untuk ekspresi semacam itu.”

“Huh. Lagipula, bukannya ini memang kesalahanmu sendiri, hn? Bisa kuperkirakan, kau memohon-mohon agar aku menderita seperti dirimu. Tapi pada kenyataannya selalu sama.”

“Heh?”

“Kau tak bisa membalikkan nasib seseorang, dobe. Yang bisa kau lakukan hanya mengubah perasaannya saja. Dan kau tahu, aku paham kau selalu membenciku. Dari awal kita bertemu, di rumah yatim piatu itu, saat ayah dan ibu memutuskan untuk mengadopsimu. Sesungguhnya, kau cukup naif dengan berharap hal yang kurasa begitu aneh, namun bisa terjadi. Aku tidak mengerti, kenapa jiwa kita bisa saling tertukar.”

Diam dan hanya terdiam. Seperti patung the thinker. Naruto menghembuskan nafas panjang sebelum menilai ucapan Sasuke dengan hanya hirauan saja. Ia tetap berjalan dan melangkah meski dering sirine mobil patroli polisi berderet-deret tiba dan muncul satu per satu. Sasuke memutuskan untuk menerima tawaran salah satu petugas kepolisian yang berniat mewawancarainya sebagai korban aksi kekerasan dan tindak transaksi ilegal seorang pegawai pemerintahan. Sejak saat itu, di petang hari, keduanya kembali berpisah.


Lama ia hanya berdiam diri terhempas angin malam yang cukup dingin. Hujan mungkin tak lagi turun merintik dari langit, namun yang tersisa adalah gumpalan embun yang membekukan tubuh. Tetapi, ia masih berada di titik yang sama sejak lima jam yang lalu. Kejadian singkat, namun cukup anomali ini membuatnya tersadar. Ia menyentuh patung Neko Kami yang mengangkat wajahnya ke arah langit. Wajah angkuh yang cukup dibenci Naruto saat ini. Dahulu, ia pernah memohon-mohon agar terlepas seluruhnya pada satu sosok bernama Uchiha Sasuke. Akan tetapi, ia terlalu salah.

“Jadi... ini memang perbuatanmu, ‘kan? Iya, ‘kan? Kenapa... harus dengan cara seperti ini? Kenapa?”

Cih, ittai. Tanganku sakit sekali. Ng, bukan. Semestinya ini adalah tangannya.’

Refleks, ia mengecup buku-buku jemarinya yang memerah dan terasa nyeri oleh efek pukulannya pada wajah-wajah menyeramkan antek-antek Hidan dan mafia Cina beberapa saat yang lalu. Tanpa sadar pula, ia membenamkan wajahnya pada kedua tangan yang begitu mulus dan pucat itu.

Sasuke, tubuhmu memang terlihat sempurna dari luar, tetapi... di dalam, kau cukup lemah juga ya? Kau, dari dulu, memang anak yang penyakitan. Makanya, ayah selalu memarahimu kalau bermain terlalu jauh hingga ke hutan. Dan, ujung-ujungnya, aku-nya juga yang dapat marah karena tidak bisa menjagamu dengan baik.’

Jadi, kau mendustai berkah yang kuberikan padamu setelah berulang kali kau mencercaku melalui doa-doamu itu?

Benar juga. Aku memang salah. Hah...’

“Naruto.”

‘Ng? Sekarang apa lagi, heh? Dihantui oleh suara-suara yang menyebalkan itu?’

Sebuah tangan tersampir di bahunya. Oh, dia tahu siapa pemilik tangan itu. Itu adalah tangannya. Dan, benar sekali.

“Dari mana kau tahu aku ada di sini?” tanya Naruto—sebagai kata sambutan pertama yang dilontarkannya pada Sasuke, “kau menguntitku?”

“Baka. Kesimpulan yang sangat imbisil.” ejek Sasuke. Hinaannya membuat Naruto memanyunkan bibirnya—tidak, bibir Sasuke. “Berhenti membuat reaksi semacam itu dengan wajahku, dobe.”

Sejak kapan keduanya harus dipaksakan berada pada situasi yang membingungkan ini? Pertanyaan ini terlalu lama hinggap di benak Sasuke dalam isi kepala Naruto. Dirinya sendiri terlalu sibuk dengan kenyataan yang fantastik itu. Ini bukan cerita dalam dongeng maupun opera sabun yang menawarkan tontonan serial bergaya magik. Karena seyogyanya mereka hidup di kehidupan yang menyakitkan, menyedihkan, dan begitu realistis. Inilah hidup, kawan. Welcome to life. Sambutan penuh tantangan pada mereka yang baru saja terlahir di dunia.

Sasuke memijit-mijit keningnya, sedangkan Naruto tetap pada pandangannya. Bahu keduanya saling mendekat. Tak ada jarak yang saling bersisian. Kedua tangan dan jemari-jemari itu tertangkup dan mengucapkan entah-apa-itu dengan raut keseriusan. Alis hitam Sasuke bergerak-gerak selama yang bisa diperkirakan—bocah ini pasti memohon-mohon hal yang aneh lagi, pikir Sasuke dalam tubuh Naruto. Ia mendengus, mengambil inisiatif dengan melingkarkan lengannya pada bahu Naruto.

“Eh?”

“Hh, konyol. Ouch.” bisik Sasuke sembari menghapus sisa darah di sudut bibirnya. Memar keunguan masih tampak di salah satu pipinya—pipi Naruto. “Jadi ini ya yang selalu kau lakukan saat aku tidur siang?” Bukannya melepaskan lengan itu di bahunya, entah apa yang akan dilakukan pemuda itu selanjutnya. Hanya berselang beberapa detik dan terjadi dengan begitu cepatnya. Ditariknya kerah kaos oblong kesukaannya yang kini terpasang rapi oleh kelakukan Sasuke dan mendekatkan wajah bersama wajah. Gurat misterius bercampur rona merah yang tak biasa. Bias emosi yang tertahan membuat Sasuke hanya terdiam, memikirkan kira-kira apa yang akan dilakukan Naruto selanjutnya. Memukulnya lagi, eh?

“Kau mau kucium, hah?”

Well, pernyataan—oh salah—pertanyaan macam apa itu?

Lalu... yang terjadilah, maka terjadilah. Toh keduanya tidak saling berkata tidak. Mana mungkin bisa? Meminta izin terlebih dahulu pada si empunya tubuh? Tidak, tidak. Untuk apa? Malah, Naruto sangat menikmatinya. Benar-benar menikmatinya. Mungkin bibir-bibir itu saling bertemu dalam waktu yang benar-benar lama—sangat lama. Sekitar lima atau sepuluh menit? Aku bercanda.

“...berhenti atau kujitak kepalamu ini, Naruto.”

“Ngg? Co-ba sa-ja ka-lau kau be-ra-ni.”

Godaan Naruto di wajah Sasuke sangat berlebihan. Menakutkan dan rasa-rasanya seperti ingin memakan orang saja. Dengan langkah ringan, pemuda itu meninggalkan Sasuke dalam kegamangan yang nyata. Ia memutar-mutar gantungan kunci apartemen yang berhasil diculiknya dari saku jaketnya—yang dikenakan oleh tubuh terisi Sasuke itu. Cemoohan kembali menghiasi bibirnya, “oh, aku akan tidur di apartemenku. Maksudnya, apartemenku yang sesungguhnya lho. Dan... oh iya, tadi pagi, siapa ya namanya—ah! Seorang wanita muda bernama Hi-Hina-Hinata, erm, ya kurasa memang itu namanya—“

“Hinata?” lanjut Sasuke, melugaskan betapa ia benci pada kecupan dari bibirnya sendiri. Buktinya, ia menggesek-gesekkan bekas kecupan Naruto dengan punggung tangannya, “kusso—“ decihnya, “—apa yang kau lakukan padanya, heh?”

Senyum sadis bercampur sedikit kenakalan terpatri bagai seringai singa yang meratapi sedih makanan basi. Kedua bahu Naruto bergudik, menganggap ia tak tahu apa-apa. “Kubilang... aku benci dia. Bahwa juga kau membencinya. Jadi, kusuruh saja dia pulang, berlindung di bawah selimutnya, dan kembali tertidur panjang. Lagipula, kau sungguh mau menikah dengan gadis semacam itu? Oh, c’mon, aku tahu selerahmu jauh lebih baik daripada itu, Sasuke. Yah, setidaknya jika kau masih benar-benar normal—dalam artian yang sesungguhnya. Kau mengerti, ‘kan?”

Ck, kusso! Kusso! KUSSSOOOO!

Ada tawa yang tertahan di bibir Naruto. Detik demi detik berlalu dan ia tak lagi berbalik meski langkahnya terhenti. Kedua tangan berada dalam saku celananya, “akhirnya aku sadar, Sasuke. Ya. Bahwa... kebencianku padamu adalah fase terbesar yang memang harus kulalui. Sebab... bukankah demikian karena kau seringkali menghiraukanku? Ah, bukan. Dari awal, ayah memang lebih memilihmu meski sudah diputuskan aku akan hidup di tengah-tengah keluarga kecil kalian. Aku memang perusak, hama atau apapun namanya. Tidak seharusnya aku ada di sana, di keluarga Uchiha. Tetapi, perlu kau tahu, Sasuke. Saat pertama kita bertemu, di saat itu pula aku tahu bahwa—aku telah benar-benar memiliki keluarga baru—a new lil bro. Aku berjanji pada diriku sendiri jika terjadi sesuatu hal padamu, aku akan menyalahkan diriku seorang. Haha. Konyol memang. Di mana letak kewarasanku?”

Tuturan demi tuturan terdengar pasif. Mungkin sudah terlalu larut dan mata lelah ‘tuk tetap terjaga dalam kondisi fisik yang tidak memungkinkan. Segala alibi dan pengakuan hanya membuat dengungan di telinga Sasuke—efek pukulan oleh stick baseball di regio belakang telinganya kah? Mungkin saja.

You think too much.’

Ya.

“Kalau begitu, kembalilah dan salahkan dirimu sendiri.”

“Ng?”

Kali ini bukan jemari miliknya yang bergerak atas kemauan jiwa Naruto, melainkan dirinya yang sesungguhnya. Iseng, Sasuke membenturkan bibir milik Naruto dengan bibirnya. Tak peduli pada luka yang timbul di sudut bibirnya pula, beberapa deret gigi taring Naruto digunakannya ‘tuk menggigit bibir bawah dan membuat lidah bertemu dengan lidah. Pergulatan terjadi dan Naruto hanya membulatkan mata tak percaya. Bukannya menikmati karunia yang terjadi sekali dalam seribu tahun ini, ia hanya mendorong bahu tubuhnya (Sasuke) dan mengedip-ngedipkan mata berulang kali. Antara percaya dan tidak percaya.

“Jangan bilang kebodohanku pindah total ke jiwamu!”

Aho.’

Baka dobe.” timpalnya. “Sudah larut. Sebaiknya kita pulang.”

Mengecil dan semakin mengecil. Suara-suara sumbang yang terdengar berdengung di pekiknya melemah oleh efek udara yang suhunya menurun beberapa derajat. Kunang-kunang melingkupi lampu-lampu jalan. Magnifikasi sinarnya tertelan oleh tapak-tapak kaki yang saling mengejar.

...

...

...

Pada awalnya mereka saling tak menginginkan hal ini terjadi. Pada awalnya, mereka saling membenci satu sama lain. Pada awalnya, ada satu cerita lain di sebuah masa di mana dua anak lelaki dipertemukan oleh nasib. Pada awalnya, satu anak akan berkata pada Neko Kami bahwa ia membenci anak lelaki lainnya oleh karena kecemburuan yang mengikat keadilan dalam benaknya. Pada awalnya, ia benar-benar menyayangi bocah penyakitan itu. Pada awalnya, ia terlalu takut ‘tuk meninggalkan bocah malang itu. Pada awalnya, ada sebuah kisah yang terbungkus oleh kenyataan bahwa Neko Kami memiliki maksud terselubung dalam mengikat benang merah yang pernah terputus itu. Pada awalnya... Pada awalnya... dan pada awalnya...

Jiwa itu seperti sayap burung walet. Akan pergi dan kembali di musim yang tepat. Jiwa jua seperti burung walet itu sendiri. Terkadang ia akan pergi di saat si burung walet menemui kesulitan mencari habitatnya, lalu ia akan pulang saat musim baru bersemi. Tetapi, ada satu hal yang akan ditinggalkan oleh jiwa, sama seperti pada tsubame, sesaat sebelum mereka terbang ke tempat lain. Hal itu adalah... cinta.
Lalu, pada akhirnya, keduanya berakhir di sebuah futon tanpa sehelai kain yang menutupi mahakarya Tuhan dengan jiwa yang saling tertukar itu.

Lalu, kemanakah sebenarnya kisah ini berujung?

Memangnya aku tahu?

...

...

...


“Jadi... sudah kembali normal ya?”

“...”

Woah! Aku baru tahu ternyata kau punya tahi lalat di bokongmu ya, Sasuke. Hihi.”

“...”

“Hei, hei, kau masih tidur?”

“...”

“Sasukeee!”

“URUSAI! Kau berisik, dobe!

“...”

“Memangnya siapa juga yang bersedian tinggal selamanya di tubuhmu yang sangat bau ini, hah?!”

­-la fin-

p.s: the worst ending ever. The worst story ever. (gyaytears)
let’s enjoy the awkwardness from my brain stuck!

2 komentar:

Nadnud mengatakan...

I'm coming. (gyea) #ditampar

ASDFJKL--sukkaaaaa banget sama fic in i! Lagi-lagi mikir y u no keposting di FFn biar bisa ta' masukin di favelist wahai penpik? TTwTT

Kaget pas Naruto (dalam tubuh Sasuke) datang dan nemuin `dirinya` sudah babak belur dibuat. Terus nggak tahunya malah dia yg nyelamatin dan-- (gyay)

“Kau mau kucium, hah?”
Sumpah muka langsung ngegyayblush pas baca bagian itu. Demi apa lagi bertengkar malah tiba-tiba mau nyium hayooo? (gyay)(gyay)(gyay)

Trus lanjut ngakak dong pas tahu ternyata kalo yang di TRADE!! yg 'mengembalikan' mereka ke tubuh masing-masing itu ciuman, di sini malah... 'itu'. PFFFT. #dor Jadi kalo mereka melakukan itu lagi, bakal ketuker lagi nggak tuh? (gtrollblush) #emotphail

BTW hontouni gomennasai karena saya super duper telat. #dogeza Ini nekad ngekomen pake hp soalnya kepikiran teyus jadi kalo kurang panjang dan penuh typo, gomen neee. ;;w;;

BTW lagi seru banget baca-baca curhatan Leon soal co-ass. Somehow berasa bangga banget punya temen yg segitu kerasnya berjuang buat cita-citanya. Ihihihi. :') #kemudianmaluentahkenapa #kemudiankabur #kemudianditendang

Last but not least: Keep writing and keep fighting, ma dear!

Love and hug and kisses,
Nad

Leon mengatakan...

Heeee... Kapan-kapan deh nanti di post di ffn (kapan-kapan itu... kapan ya?) [gtroll]

Yup, gak apa-apa. Kirain Nad emang gak mau ngasih ripiu [ngarep sangat]. Tapi karena sekarang udah, jadi gak apa-apa [nih anak maunya apa coba] LOL

Makaccchuuuuu, Nad cayang. :*

Ah iya. Mungkin kali ya. Bisa jadi sekuel gitu, kan? (ngarep ada yang bersedia bikinin) Haha. Kalau 'gituan' lagi, bakal ketuker lagi gak ya? XP

Jauh lebih ekstrem dan Trade. Soalnya ciuman aja, trus ketuker itu sudah mainstream. (gtrolltothemax)

Ah, iya. Postingan gaje itu ya? Yahh, itu cuma pelampiasan isi hati. Bukan untuk dinikmati. (ngek)
Kita sama-sama punya tujuan hidup masing-masing. Apapun itu, kita memang berhak untuk memperjuangkannya. Dengan doa dan usaha, tentu. :)
Yuk, kita berjuang bersama meski dengan cara yang berbeda-beda. Hihi.

Semoga saya masih punya feel untuk menulis. Seberapa sibuknya saya bekerja sebagai ahli medis, tetap nulis adalah passion saya. Hehe.

Best hug and kisses,
Leon

Diberdayakan oleh Blogger.