Arrivederci: [K] fanfiction

Rabu, 21 November 2012


[K] © GoRa & GoHands

Arrivederci
by ceruleanday

---
Ringkasan: Apa arti dari selamat tinggal? Apakah itu semacam salam perpisahan? Ataukah simbol dari kehidupan baru? Bagi Saruhiko Fushimi, selamat tinggal adalah ungkapan untuknya kembali pulang.

Peringatan: Implicit sexual insult. Better run if you fear of it.

Mungkin hanya imajinasinya. Ya. Kain beludru yang tergeletak basah bersama lautan merah di atas papan kayu berdecit seluas angkasa. Aromanya menyengat dan menyakitkan—membangkitkan refleks muntah dalam suatu waktu. Sebuah kursi mahoni berdiri tegak di posisinya selama beberapa jam, kemudian diam menyepi hingga bisik-bisik mentari menyilau dari sisi jendela.  Cerita-cerita bualan sepert monster penghisap darah menjadi buaian serta lamunannya ‘tuk tertidur. Di sudut sana, ada seorang anak kecil yang tengah memeluk boneka beruang kusut. Bersembunyi di balik hangatnya kain beludru bersimbah darah. Kaki-kaki mungilnya mengetuk-ngetuk kayu yang terlepas dari bautnya.

Saruhiko. Ia dinamakan demikian. Tidak benar-benar paham dengan alasan penamaan yang sungguh abnormal. Ia bukan monyet, demi Tuhan. Jika saja teori Darwin adalah kenyataan dan bagian dari mukjizat ilmu pengetahuan serta sains primitif, tentu saja nama itu tidak akan melekat dengan seenaknya. Fushimi, ia lebih memilih nama itu—yang menurutnya jauh lebih beradab. Ia tak pernah tahu di mana ia dilahirkan, oleh siapa, dan untuk apa. Lebih tepatnya, ia bagai anak Tuhan yang dibuang begitu saja dari langit.

Saat itu, ia masih berusia tujuh tahun ketika ibu angkatnya menemaninya melintasi pejalan kaki di sebuah kota yang dipenuhi dengan salju. Putih, putih, putih. Di mana pun ia melangkah, segalanya tampak putih. Terkadang ia menanyakan hal konyol seperti, apakah salju bisa berubah warna? Sang ibu angkat tak peduli, ia hanya mengangguk seraya berbincang-bincang dengan para tetangga yang sibuk dengan dekorasi Natal. Mungkin saja, itu hanya kumpulan pertanyaan seorang anak kecil serba tahu—seyogyanya tak perlu dijawab sebab ia akan tetap menanyakan hal yang sama berulang kali. Tetapi, anak kecil itu bungkam. Ia kembali menyepi di sudut kamarnya yang gelap, lalu memeluk tuan beruang.

Ia kehilangan fokus pencahayaan terhadap objek di sekitarnya ketika usianya mencapai sepuluh tahun. Saat terbangun di pagi hari, ia merasa dunia di sekelilingnya berputar tak karuan. Seolah ia berada di suatu galaksi yang tak bertuan. Hingga, ia terjatuh di sisi koridor, memastikan bila apa yang dilihatnya hanya garis imajiner berwarna hitam dan putih. Satu-satunya cara untuk menangkal kebutaan miliknya adalah sebuah kacamata persegi pemberian sang ibu angkat. Bentuknya benar-benar kotak dengan frame berwarna hitam. Awalnya, ia tak yakin harus mengenakan benda-yang-sangat-menyebalkan itu—tampak menggantung di pangkal hidungnya. Rasa ingin menggaruk dan melepaskan adalah kebiasaan yang sulit ditolaknya.

Di malam ke dua ratus lima puluh satu, di tahun kelima ia berada di sebuah panti asuhan itu, ia hanya terduduk diam bersama seonggok buku tua yang dicurinya dari perpustakaan. Ia mengunyah perlahan pocky coklat sembari membuka-buka halaman si buku. Terkadang, ia akan berbaring sebentar, lalu mengulangi aktivitas yang sama—membuka buku, menutup buku, membuka lagi, dan menutup lagi. Hanya awan yang terlihat merah di petang yang hangat, pikirnya. Berbicara mengenai warna, entah kenapa ia lebih menyukai polikromatis yang temaram. Merah, merah, merah, lalu hitam. Sangat indah dibandingkan putih yang mengingatkannya pada malam-malam Natal yang dilaluinya dengan kesendirian.

Usia yang kesebelas dan ia merasakan kerisauan berkat tayangan-tayangan propaganda pemerintah. Dunia ia dilahirkan adalah dunia yang sangat aneh. Ada tujuh warna yang melapisi pelangi, begitu pula dengan dunia di sekitarnya. Ada tujuh Raja yang berkuasa di dunia miliknya, begitu pula dengan tujuh macam peraturan. Ketika ketujuh Raja memutuskan untuk berperang, kepada siapa lagi anak-anak itu harus meminta perlindungan? Tatkala bom dan nuklir menjadi senjata terampuh, yang tersisa hanyalah tangis yang kian bergemuruh. Fushimi Saruhiko, bocah berkacamata itu, melihat untuk yang pertama kalinya pemandangan yang tiada menyakitkan dengan melihat kelinci kesayangannya tewas karena penyakit menular.

Ti-tidak. Tidak. Tidak. Tidak…

Tubuh-tubuh mati menjadi daging gosong di jalanan. Menghampar luas bagai padang rerumputan yang basah oleh hujan darah. Lalu, tangan kecil Fushimi Saruhiko masih menggenggam erat tuan beruang. Yang bisa dilakukan oleh kedua tungkai kurusnya adalah berlari. Berlari sejauh mungkin. Jauh, jauh sekali. Dari jangkauan siapapun.

Kini, ia masih terdiam menyepi di sudut bangunan tua. Kayu-kayunya yang merapuh kerap kali berdecit setiap tapak-tapak tikus maupun serangga malam mengejar mangsa. Tubuhnya kedinginan, sedingin es di musim salju. Hanya selimut yang bersimbah darah terlihat di sudut mata. Jemari-jemari merenggut kehangatan yang tersedia. Meski aromanya sama saja dengan bau amis makanan laut yang dibencinya.

Tidurlah, bocah. Tidurlah. Ini hanyalah mimpi buruk semata. Ketika kau terbangun di esok hari, mentari akan kembali menerangi, langit biru terlukis indah, dan…

…kau akan kembali melihat dunia yang sama.

Perang telah berakhir, anakku.
Au Revoir

Membuka mata dan menutupnya kembali. Beberapa kali berselang, ia yakin ia tak mengenakan selembar kain pun. Hanya selimut beludru merah tampak menghangatkan tubuhnya—bukan—ia tak sendiri di atas ranjang berukuran queen size itu. Melirik ke sisi kiri, ada tubuh lain yang membelakanginya. Pikirnya melamun sementara dan merestorasi memori yang masih tersimpan. Semalam, ia hanya bermimpi. Mimpi panjang akan masa lalu yang dipenuhi dengan warna merah. Ia mengutuk dirinya seorang, memarahi dan memaki atas perbuatan sesatnya—meracuni tubuhnya dengan alkohol hingga tak sadarkan diri.

Sial, sial.

Lagi-lagi hanya garis-garis hitam putih yang terlihat. Ia meraba-raba meja kecil di samping ranjang, meraih kacamata persegi jelek yang telah menempel terlalu lama di puncak hidungnya. Andai saja kebiasaan buruknya yang sangat membenci segala jenis sayuran telah hilang sejak dulu, kacamata itu tak perlu lagi menemaninya. Hubungannya? Oh, ia pernah mendengar istilah orang tua—makanlah wortel, itu bagus untuk matamu. Peduli setan, ia masih menolak mengunyah benda-benda berserat itu.

Bentuknya kotak, berwarna hitam, dan tampak terefleksi bagai bingkai jendela yang terbuka sedikit. Ia bangkit, masih tak mengenakan apapun, lalu mengamati benda-benda bak semut yang berhilir mudik di bawah sana. Saat menyentuh kaca jendela, ada rasa dingin oleh embun pagi hari di jemarinya. Suara kain yang terjatuh membuatnya menoleh, menaikkan kedua alis, lalu tak berkedip.

Se-sejak kapan…

Misa—

—ki?

“Oi, Saru. Setidaknya pakai dulu apapun itu untuk menutup kau-tahu-apa yang bergelantungan di bawah sana.” Menyebut kata-kata terakhir membuat siapapun yang kini sedang berbicara mengeluarkan rona merah di kedua pipinya. Selimut beluduru merah menggulung-gulung sosoknya, seperti ulat daun yang hendak bermetamorfosis. Mendengar koar-koar pemuda yang senang mengenakan topi kupluk itu semakin membuat Fushimi berpikir di luar batas normal. Tarikan sudut di kedua bibirnya membentuk seringai menyeramkan. Psikopat tingkat dewa, sebut pemuda yang memiliki selisih tinggi badan sebelas senti dengan Fushimi itu.

“Aa, apa Mi-sa-ki ingin melihatnya? Dengan lebih jelas?”

“Ba-BAKA! KUSSO SARU!” pekik pemuda berambut oranye itu. Hampir keseluruhan wajahnya dipenuhi dengan warna merah menyala, seperti kepiting rebus yang masak. “Tsk! Kau memang tidak punya rasa malu ya, heh?” Detik berikutnya, selembar kain berbentuk boxer melayang ke wajah Fushimi. Warnanya hitam polos, namun dengan beberapa motif bintang-bintang. Sungguh pilihan yang sangat aneh.

“Che, kau ini benar-benar menyedihkan, Saru!” serunya. Tubuhnya yang masih berbentuk seperti sushi roll melangkah pelan-pelan, lalu memberi jarak sejauh mungkin dari Fushimi. Tatapannya tak pernah lepas dari sosok yang kini masih menggeluti pekerjaan membosankan di kesatuan SCEPTER4. Entah jenis pekerjaan apa yang dilakukan pemuda berkacamata di hadapannya, like hell I wanna know, pikirnya. Tetapi, pekerjaan semacam itu selalu menjanjikan—mendapatkan gaji bulanan yang cukup untuk menghidupi diri sendiri tentu. Hanya saja, suatu hari pernah berkata saat Fushimi Saruhiko muncul di tengah-tengah keramaian Fun Land. Memerankan tokoh pahlawan di panggung mini yang diperuntukkan untuk anak-anak kecil. Namun, hal yang sebaliknya terjadi—sang pahlawan menghilang entah untuk alasan apa. Hal ini membuat darah pemuda setinggi 166,9 sentimeter berwujud Gomera mendidih di atas kepala. Sungguh sebuah peristiwa kuno yang tak ingin lagi dikenangnya.

“Hm?” Sembari mengelus dagu, pemuda berkacamata itu tampak memerhatikan objek yang rupanya semirip sushi kesukaannya. Senyum tak biasa masih melekat erat di sudut-sudut bibirnya. Ada pemikiran lain yang hinggap dan sulit ‘tuk diucapkannya. Mungkin hanya berupa ingatan semu sehingga penjabaran dalam kata-kata begitu minim. Ia tampak memilih-milih kata yang tepat sebelum kembali berujar. “Wajahmu merah sekali lho, Mi-sa-ki. Apa Misaki belum puas dengan—“

Wajah mengutuk, bibir bergemerutuk, jemari menunjuk. “LIKE HELL! DAN BERHENTI MENGUCAPKAN NAMA DEPANKU DENGAN CARA MENGERIKAN SEPERTI ITU, BAKA SARU! LA-LALU, PAKAI CELANAMU! A-A-ATAU TIDAK—“

“Atau tidak… Kenapa?

Adalah hobi yang menyeramkan dan sangat disukainya. Menggoda pemuda Homra yang suka membuat kerusuhan itu. Apapun kata-kata yang keluar dari bibir Yatagarasu Misaki—Yata ataupun Misaki—ini semakin membuat adrenalinnya berpacu dengan kecepatan penuh. Kebiasaan aneh ini tumbuh mengakar semenjak ia mengenalnya. Ya—bocah yang terlihat begitu mirip dengannya. Masa lalu banyak memberikan pemandangan menyakitkan untuknya dikenang. Namun, perlahan-lahan kedua mata miliknya terbuka oleh warna polikromatis lain di dunia yang mulai membusuk ini. Ironisasi dari sebuah karakter yang memilih ‘tuk terdiam di sudut kamar dan mengabaikan jerit penuh tangis anak-anak lain di sekelilingnya. Dahulu, ia hanya menahan air mata sembari memeluk tuan beruang. Bocah itu dulu juga demikian. Nasib seakan menampar dirinya, menunjukkan kesempatan sebuah pertemuan dengan bocah yang tak pernah sekalipun bersedih meski hatinya kian meliar oleh kenyataan yang pahit. Kenyataan lain bahwa ia seakan telah mengikat jiwa dengan pemuda Homra itu.

Lama sudah ia melupakan memori imbisil akan masa lalu. Hari ini dan esok hari akan berputar seperti biasa. Mengejek dirinya yang masih terdiam di posisi—entah apa maksudnya ini—ia juga tak begitu paham dan peduli. Baginya, sudah cukup jika tatapan itu berkata seolah tak ada hari esok ‘tuk dijalani dengan cara yang normal. Demi mendapatkan tatapan membenci, membunuh, memaki—hanya itu saja. Hanya Misaki seorang yang mencukupkan semuanya. Segalanya.

Hanya Misaki.

Mi—

—sa—

—ki 

Perlahan, namun pasti. Langkah kakinya bergerak maju dan diikuti dengan langkah kaki yang bergerak mundur. Maju lalu mundur. Mundur lalu maju. Ia berhenti, menelengkan kepala ke satu sisi dan menarik sudut-sudut bibirnya. Kembali, ia ingin melihat raut ketakutan yang terpancar begitu jelas di wajah Misaki. Misakinya.

“Ma-maju selangkah lagi, kau akan kupukul, Saru.” Pita suaranya menggetar. Sebuah fenomena yang kerap kali terjadi, terutama jika harus berhadapan dengan sosok yang tak sekalipun berniat ‘tuk menghentikan langkahnya itu. Baik dalam pertarungan satu lawan satu, Misaki turut merasakan hal yang sama. Pacuan degup jantungnya seakan berlomba dengan detik dalam waktu. Berusaha membuat benteng, pemuda bertubuh ringan itu menahan sesuatu yang berdentum-dentum keras di balik susunan tulang iga miliknya. Tangan terkepal erat dan nafas mengikuti ritme debaran jantung. “Dan, dan—kenapa kau masih belum mengenakan celanamu itu, HAH?!”

Kali ini, bukan hanya kain celana yang melayang di angkasa. Papan skateboard bahkan bat yang tersimpan manis di sudut kamar menjadi iming-iming agar Fushimi berhenti melakukan hal yang ingin dilakukannya. Senyum khas psikomania masih tergambar jelas di wajah pemuda berambut hitam kelam itu. “Fufu. Kenapa kau jadi penakut begitu, Misaki? Bukankah sudah jelas kau selalu berkata bahwa kau tak memiliki rasa takut terhadap apapun, kecuali pada—siapa itu—oh ya, Raja kalian.”

“Berhenti mengucapkan nama Mikoto-san dengan wajah seperti itu. Aku membencinya.”

Penghinaan, eh?

Lelah mengobarkan kecemburuan. Ia teringat dengan bagian lain dari mimpi semunya. Ketika tuan beruang menjadi satu-satunya boneka yang dimilikinya. Sebagai hadiah tatkala usianya telah mencapai lima tahun. Pemberian yang paling berharga dari sang ibu angkat dan tiada ingin dilepasnya. Anak-anak lain merasakan amarah dan kedengkian padanya. Mungkin hal itu sangatlah normal, tetapi tidak untuk seusianya. Ia mahfum, kecerdasannya menuntut dan berimbas pada banyak aspek. Orang-orang dewasa di sekitarnya menyatakan kebanggaan yang teramat besar atas prestasi akademik yang ditorehkannya meski di usia yang teramat muda. Akan tetapi, anak-anak itu pun ikut tumbuh bersamanya, di lingkungan yang sama dan dengan peraturan yang sama. Tak’kan ada yang mampu memprediksikan masa depan. Sebab, masa depan adalah buah dari masa lalu.

Ia baru saja kembali dari kelas musik dan senyum tertoreh bersamaan dengan benda yang digenggamnya saat itu. Hasil kerja kerasnya selama ini kian membuahkan hasil. Niat tulusnya ‘tuk memberikan radio kuno pada sang ibunda akhirnya tercapai. Tak perlu lagi membawa-bawa radio rusak ke tiang pemancar. Cukup dengan terduduk diam di kursi malas, menyisip secangkir teh hangat, dan merajut sweater musim dingin. Sekembalinya, ia melupakan satu hal. Biliknya tak terkunci sempurna. Kesadaran penuh membuat senyumnya pudar dan sirna. Tuan beruang tak lagi memiliki kedua tangan dan kedua kaki. Busa-busa dakron hilang dari tubuhnya. Kini, tuan beruang hanyalah seonggok boneka using yang dibenci. Dibenci oleh anak-anak jahat.

Fushimi merenungkan banyak hal, tetapi tak ada satu pun yang membuatnya tersenyum dengan benar. Pada akhirnya, ia akan melewatkan memori-memori itu dengan kejadian lampau yang dipenuhi dengan kebencian. Ia sudah tak peduli lagi.

Jika tuan beruang adalah Misaki. Mikoto Suoh adalah dirinya di masa lalu. Lalu, ia akan memerankan tokoh apa?

Aku sudah tahu itu.

Ne, Misaki. Kau masih berpikir Mikoto adalah pahlawan, bukan?”

“Che! Tentu saja. Meski Raja-mu berniat untuk mengasingkan Mikoto-san dari kami, Homra akan tetap seperti dulu—dengan ataupun tanpa Mikoto-san. Meski aku yakin, saat itu kami benar-benar lumpuh. Ya. Tetapi, yang dulu tetaplah menjadi hal di masa lalu. Lagipula, perang sudah berakhir. Yang tersisa untuk kami adalah merestorasi kembali apa yang telah diperjuangkan Mikoto-san.”

Fushimi mendesah. Bertolak pinggang. Mengangkat bingkai kacamata. Ia terdiam untuk beberapa saat dan hanya merespon jawaban Misaki dengan garukan kepala. Sampai kapan pun, pemuda di hadapannya tetap akan menjadi bocah. Selamanya.

Gaki. Ejeknya.

Misaki mengerutkan keningnya. Membuat pose bertahan dengan tangan menyilang di dada. Selimut beludru merah masih menggulung di sekeliling tubuhnya. Semakin dieratkannya satu-satunya pertahanan yang sulit dijangkau Fushimi, menurutnya. Meski, ia masih begitu yakin bahwa rasa nyeri di belakang tubuhnya akibat perkelahian sengit yang dilakukannya di atas ranjang bersama Fushimi tak’kan hilang dalam waktu singkat. Ia harus kembali menenangkan dirinya dari pemuda sadistik itu.

“Hah, kau lah yang sulit memahaminya, Saru. Dan, biarkan aku mengambil pakaianku dengan nyaman, ok?” tutur Misaki sembari melangkah tertatih ke arah sisi ranjang di mana sebelumnya ia tertidur. Seraya tertunduk ‘tuk mengumpulkan pakaian yang terjatuh, ia kembali meringis. Dari jauh, Fushimi memerhatikan hal lain yang tampak dari sudut pengelihatannya. Dengan deheman tipis, ia benar-benar bangga dengan hasil kejahatannya yang mutlak pada pemuda bertopi kupluk itu. Bekas-bekas yang sulit untuk dihilangkannya meski dengan sabun sekalipun.

Perfect kiss mark?

Ia mendekat, tetapi masih menjauh. Zona nyaman, sesuai permintaan Misaki, ia berikan tanpa perlawanan. Lagipula, permainan mereka semalam sudah cukup mengobarkan adrenalin yang telah lama hilang dari dirinya. Pertempuran yang tak pernah berakhir dengan sia-sia.

“Kalau kau memang tak suka mengenakan celanamu, sebaiknya kau pergi ke kamar mandi dan bersihkan dirimu atau apa saja asalkan tidak merusak pemandangan. Kau tahu, Saru, semakin lama aku mengenalmu, aku berani bertaruh kalau kau juga semakin aneh,” cemooh Misaki sembari mengenakan pakaiannya satu per satu. Kedua matanya berkedip tak sempurna, melihat cahaya sinar mentari yang mulai meninggi dan tak malu-malu lagi menyinari tiap sudut dari bilik milik Fushimi itu. Ruangan yang hanya berisi ranjang berukuran queen bersama dua buah kursi kayu dan meja kotak berkaki empat tampak begitu normal bagi seorang Saruhiko Fushimi. Kumpulan buku-buku berbahasa asing jua tertata rapi di dalam rak-rak kecil tepat di samping bingkai jendela. Tirai-tirai semerah darah tersingkap dan menjadi penanda akan dimulainya hari baru untuknya. Aneh, pikirnya. Ia seolah mengingat banyak hal melalui kubikel kecil berlantaikan kayu itu. Setiap aroma, bunyi decitan saat melangkah, dan sosok yang mengisi ruang ini tampak begitu nyata. Entah sudah bertahun-tahun ia tak lagi merasakan keganjilan yang sama seperti saat ini. Ya. Tepat ketika pemuda itu mengatakan selama tinggal padanya. Memutuskan ‘tuk membuang jauh-jauh pikiran itu, Misaki mendesah panjang.

Selesai dengan aktivitasnya, ia kemudian menoleh, mengamati tubuh polos Fushimi yang tak terbalut satu helai kain pun. Pinggulnya yang ramping dan kulitnya yang entah terlalu mulus untuk ukuran seorang pria—terutama bagi Saruhiko Fushimi yang lebih banyak menghabiskan waktu kosongnya di jalanan—menjadi pertanyaan-pertanyaan yang berputar tiada henti di kepalanya, seperti bola dunia. Tetapi, saat itu sudah begitu dulu. Mungkin ia melakukan perawatan? Memikirkannya semakin membuat Misaki terdiam selama sepersekian menit. Cepat-cepat ia membuang pikiran konyol itu. Kenyataan bahwa ia sulit menghilangkan rona kemerahan konyol di kedua pipinya selepas memerhatikan intens mahakarya Tuhan yang luar biasa itu, tak pelik mengurangi kadar kebenciannya. Toh, ia sama sekali tak pernah membenci Fushimi. Gejolak emosi yang bergerak tak stabil inilah penyebabnya. Ia tak mengerti.

Kembali ia menyipitkan kedua mata saat sinar berbentuk bintang berpendar dari arah abdomen pemuda berkacamata di sampingnya. Penasaran, ia melangkah tak peduli. Dan, keterkejutan tak bisa disangkalnya saat mengamati sebuah logam berbentuk bulat kecil melekat di pusar Fushimi. Spontan, Misaki menyentuh benda itu dengan jemarinya. Rasa dingin aneh teraba di ujung jemari miliknya, “se-sejak kapan kau—“

“Oh. Maksudmu piercing ini? Yah, sudah lama kok. Bersama dengan tato ini juga.”

Misaki semakin membulat tak percaya. Dengan wajah mengangetkan, ia memandangi gambar bintang-bintang mulai dari ukuran besar hingga kecil yang mewarnai sisi kulit pinggul tubuh Fushimi. Disentuh-sentuhnya lukisan berwarna kehitaman itu seolah menemukan benda aneh yang unik. Ia merasa kecolongan untuk satu hal—semestinya ia menyadarinya sejak semalam, bukan? Atau mungkin, ia tidak benar-benar bisa memerhatikan hal sekecil itu oleh karena fokus yang mengarah pada sesi perkelahian. Tanpa sadar, pemuda Homra itu merona untuk suatu hal yang tak beralasan.

“Kau ini, seperti hippies.” ejek Misaki, masih menunjuk-nunjuk antara piercing di pusar Fushimi dengan tato bintangnya.

“Haha. Doumo. Tapi… daripada Misaki menyentuh bagian yang tidak jelas, kenapa tidak menyentuh di sini saja? Ne, Mi-sa-ki.

Di sini adalah sebuah tempat yang sulit untuk dideskripsikan dan dijabarkan dengan kata-kata. Karenanya, Misaki memberontak dengan kembali memaki-maki pemuda yang jauh lebih tinggi darinya itu. Namun, ia tak bisa mengingkari saat rona merah di kedua pipinya semakin memerah saja. Dengan seribu kata yang keluar dalam waktu yang nyaris bersamaan, Misaki melangkah jauh-jauh ke arah pintu bilik. Dengan kasar, ia memutar grendelnya dan memerlihatkan wajah sebal tiada maaf pada pemilik kamar. Tak sempat pula ia mengucapkan kata-kata dan pergi begitu saja. Bahkan, dengan emosi yang meluap-luap, tak kuasa ia membanting pintu hingga menimbulkan suara yang memekikkan.

Ah, Misaki yang tsun-tsun. Semakin imut saja.

“Misaki—kau melupakan skateboard-mu.“ panggilnya.

NANI?”

Fushimi cukup terkejut. Pemuda berwujud bocah itu masih berada di sana. Setelah mengenakan boxer yang sedari tadi dilemparkan Misaki padanya, ia mendekat ke arah pintu sembari menawarkan papan seluncur beroda kepada pemiliknya. Dilihatnya wajah yang gusar namun menyisakan bias rona merah tipis itu.

Suara tonggeret musim panas kian berbunyi riang melalui celah lubang yang entah bermula dan berasal dari mana. Kibas-kibas dedaunan pepohonan bernyanyi bersama lonceng-lonceng mini berwujud miniatur paus. Ada tawa yang teredam melalui bisik-bisik angin. Langkah-langkah kaki bergerak mengikuti ritme melodi dalam balok not yang tak pernah selesai. Jantung berdegup cepat, memompa darah dengan velositas yang tak seimbang, pacuan adrenalin memaksa tubuh tak lagi terdiam. Bagai kereta kapsul berkecepatan tinggi, itulah denyut nadinya. Wajah demi wajah bertemu. Tatapan hanya tertuju pada jemari kaki yang tak terlapisi kain sepatu.

Yatagarasu Misaki masih berwujud bocah saat ia mengenal Saruhiko Fushimi. Strategi takdir menuntun keduanya beradu pada nasib yang sulit. Ketika itu, mereka masih berusia tiga belas tahun. Mereka hanyalah bocah yang berusaha bertahan hidup dari tujuh warna dunia miliknya. Pada akhirnya, sesuatu yang mengikat mereka—sebutkanlah takdir—berujar dengan angkuh bahwa hidup tak’kan pernah mudah. Hidup adalah panggung sandiwara yang dipenuhi dengan kisah ironis.

Ironis sekali, bukan?

Bukankah dulu kau bermohon-mohon padaku? Bukankah dulu kau berkata jangan menangis sendiri lagi? Lalu, bukankah wajah itu adalah wajah yang sama saat meminta agar aku tak meninggalkannya lagi? Meninggalkanmu?

Ne, Saru. Apa… kau benar-benar membenci Homra? Ataukah kau membenci Mikoto-san? Membenci Kusanagi-san? Membenci Totsuka-san? Membenci kami? Membenci—“

Jangan katakan itu, Misaki.

Jangan. Jangan. Jangan!

“—ku?”

Kau menginginkan jawaban, Misaki?

Kau butuh jawaban itu?

“Perang telah berakhir. Semuanya—semua misteri ini dan itu—lalu, kematian Totsuka-san. Segalanya. Sudah selesai, Saru. Sudah berakhir. Maka dari itu—“

Dingin. Tentu. Ia tak mengenakan pakaian apapun. Tak menutupi tubuhnya dengan selimut beludru. Sama sepert dahulu. Dulu sekali. Ketika ia kembali dari gereja kecil di tiap akhir pekan. Sehari sebelum perayaan Natal. Dingin, dingin, ujarnya sembari berlari menembus badai salju. Mungkin, rasa dingin itu akan melukai tubuhnya. Membersihkan dosa-dosanya. Tapi, ia mahfum, cara konyol itu tiada guna dan manfaat.

Ia mendapatkan senyum tulus di sebuah wajah yang ingin selalu disentuhnya. Ia tak ingin senyum itu lenyap secepat badai salju. Ia… menginginkan senyum itu terpatri selamanya.

“—ayo kita pulang, Saruhiko Fushimi.”

Tubuhnya gemetar. Kata-kata itu terucap jelas dan eksplisit dari bibirnya—bibir bocah cilik pemarah yang membenci kotak susu di setiap paket makan siangnya.

Ayo kita pulang.

Ayo kita pulang.

Ayo kita pulang.

Ayo kita pulang.

Direngkuhnya tubuh itu seorang diri. Tubuh miliknya. Mendekap objek hidup yang dingin itu. Lalu, sebuah tangan melekat di salah satu bahu miliknya. Menepuk-nepuk pelan dan berkata tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja. Sehelai kain berwarna merah menggantikan selimut beludru yang bersimbah darah. Dikenakannya pada tubuh yang masih terlihat tremor entah karena apa. Sweater Misaki tergantung di kedua bahu bidang Fushimi. Dan, untuk pertama kalinya, ada tawa yang tertutupi dalam deretan kata penuh ejekan.

Baka.”

Saruhiko Fushimi memanggil kembali memori tua yang terekam melalui mimpi-mimpi panjang tak berkesudahan. Ia masih melihat seorang bocah cilik tengah memeluk boneka tuan beruang miliknya yang usang dan dekil. Tampak jahitan asal-asalan di kedua kaki dan tangannya. Rasa dingin oleh salju di luar sana membekukan tubuh rentanya. Hanya selimut beludru merah beraroma amis yang kian tersisa. Malam penuh dihabiskannya dengan menyepi diam di sudut kamar bersama kursi malas yang reot. Decitan kayu-kayu serta tapak kaki tikus serta serangga malam menjadi musik latar. Adalah seorang pemuda yang kini berdiri termangu bersama kacamata membingkai refleksi pencahayaan miliknya.

Dunia telah berubah. Sebab, itu hanyalah mimpi. Ya.

Sebuah mimpi yang tak memiliki awal dan akhir.

Begitu pula dengan perjumpaan serta perpisahan.

Kita akan kembali ke sebuah rumah di mana dahulu kita dibesarkan bersama-sama. Bukan begitu, Saru?

“Tentu. Tentu saja, Misaki.”

Con te partirò
Io con te.

---
la fin
---

A/N : WOAAAAAAAAAAAAAA! AKHIRNYA JADI! JADI! JADI! *malu seberat-beratnya*
Gak tau mau bilang apa, terserah yang baca. Review please. *lari ke angkasa*


0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.