[K] © GoRa & GoHands
Arrivederci
by ceruleanday
---
Ringkasan: Apa arti dari selamat
tinggal? Apakah itu semacam salam perpisahan? Ataukah simbol dari kehidupan
baru? Bagi Saruhiko Fushimi, selamat tinggal adalah ungkapan untuknya kembali
pulang.
Peringatan: Implicit sexual insult. Better run if you fear of it.
Mungkin hanya
imajinasinya. Ya. Kain beludru yang tergeletak basah bersama lautan merah di
atas papan kayu berdecit seluas angkasa. Aromanya menyengat dan
menyakitkan—membangkitkan refleks muntah dalam suatu waktu. Sebuah kursi mahoni
berdiri tegak di posisinya selama beberapa jam, kemudian diam menyepi hingga
bisik-bisik mentari menyilau dari sisi jendela. Cerita-cerita bualan
sepert monster penghisap darah menjadi buaian serta lamunannya ‘tuk tertidur.
Di sudut sana, ada seorang anak kecil yang tengah memeluk boneka beruang kusut.
Bersembunyi di balik hangatnya kain beludru bersimbah darah. Kaki-kaki
mungilnya mengetuk-ngetuk kayu yang terlepas dari bautnya.
Saruhiko. Ia
dinamakan demikian. Tidak benar-benar paham dengan alasan penamaan yang sungguh
abnormal. Ia bukan monyet, demi
Tuhan. Jika saja teori Darwin adalah kenyataan dan bagian dari mukjizat ilmu
pengetahuan serta sains primitif, tentu saja nama itu tidak akan melekat dengan
seenaknya. Fushimi, ia lebih memilih nama itu—yang menurutnya jauh lebih
beradab. Ia tak pernah tahu di mana ia dilahirkan, oleh siapa, dan untuk apa.
Lebih tepatnya, ia bagai anak Tuhan yang dibuang begitu saja dari langit.
Saat itu, ia
masih berusia tujuh tahun ketika ibu angkatnya menemaninya melintasi pejalan
kaki di sebuah kota yang dipenuhi dengan salju. Putih, putih, putih. Di mana
pun ia melangkah, segalanya tampak putih. Terkadang ia menanyakan hal konyol
seperti, apakah salju bisa berubah warna?
Sang ibu angkat tak peduli, ia hanya mengangguk seraya berbincang-bincang
dengan para tetangga yang sibuk dengan dekorasi Natal. Mungkin saja, itu hanya
kumpulan pertanyaan seorang anak kecil serba tahu—seyogyanya tak perlu dijawab
sebab ia akan tetap menanyakan hal yang sama berulang kali. Tetapi, anak kecil
itu bungkam. Ia kembali menyepi di sudut kamarnya yang gelap, lalu memeluk tuan
beruang.
Ia kehilangan
fokus pencahayaan terhadap objek di sekitarnya ketika usianya mencapai sepuluh
tahun. Saat terbangun di pagi hari, ia merasa dunia di sekelilingnya berputar
tak karuan. Seolah ia berada di suatu galaksi yang tak bertuan. Hingga, ia
terjatuh di sisi koridor, memastikan bila apa yang dilihatnya hanya garis
imajiner berwarna hitam dan putih. Satu-satunya cara untuk menangkal kebutaan miliknya adalah sebuah kacamata
persegi pemberian sang ibu angkat. Bentuknya benar-benar kotak dengan frame berwarna hitam. Awalnya, ia tak
yakin harus mengenakan benda-yang-sangat-menyebalkan
itu—tampak menggantung di pangkal hidungnya. Rasa ingin menggaruk dan
melepaskan adalah kebiasaan yang sulit ditolaknya.
Di malam ke dua
ratus lima puluh satu, di tahun kelima ia berada di sebuah panti asuhan itu, ia
hanya terduduk diam bersama seonggok buku tua yang dicurinya dari perpustakaan.
Ia mengunyah perlahan pocky coklat
sembari membuka-buka halaman si buku. Terkadang, ia akan berbaring sebentar,
lalu mengulangi aktivitas yang sama—membuka buku, menutup buku, membuka lagi,
dan menutup lagi. Hanya awan yang terlihat merah di petang yang hangat,
pikirnya. Berbicara mengenai warna, entah kenapa ia lebih menyukai polikromatis
yang temaram. Merah, merah, merah, lalu hitam. Sangat indah dibandingkan putih
yang mengingatkannya pada malam-malam Natal yang dilaluinya dengan kesendirian.
Usia yang
kesebelas dan ia merasakan kerisauan berkat tayangan-tayangan propaganda
pemerintah. Dunia ia dilahirkan adalah dunia yang sangat aneh. Ada tujuh warna
yang melapisi pelangi, begitu pula dengan dunia di sekitarnya. Ada tujuh Raja yang berkuasa di dunia miliknya,
begitu pula dengan tujuh macam
peraturan. Ketika ketujuh Raja memutuskan
untuk berperang, kepada siapa lagi anak-anak itu harus meminta perlindungan?
Tatkala bom dan nuklir menjadi senjata terampuh, yang tersisa hanyalah tangis
yang kian bergemuruh. Fushimi Saruhiko, bocah berkacamata itu, melihat untuk
yang pertama kalinya pemandangan yang tiada menyakitkan dengan melihat kelinci
kesayangannya tewas karena penyakit menular.
Ti-tidak. Tidak. Tidak. Tidak…
Tubuh-tubuh mati
menjadi daging gosong di jalanan. Menghampar luas bagai padang rerumputan yang
basah oleh hujan darah. Lalu, tangan kecil Fushimi Saruhiko masih menggenggam
erat tuan beruang. Yang bisa dilakukan oleh kedua tungkai kurusnya adalah
berlari. Berlari sejauh mungkin. Jauh, jauh sekali. Dari jangkauan siapapun.
Kini, ia masih
terdiam menyepi di sudut bangunan tua. Kayu-kayunya yang merapuh kerap kali
berdecit setiap tapak-tapak tikus maupun serangga malam mengejar mangsa.
Tubuhnya kedinginan, sedingin es di musim salju. Hanya selimut yang bersimbah
darah terlihat di sudut mata. Jemari-jemari merenggut kehangatan yang tersedia.
Meski aromanya sama saja dengan bau amis makanan laut yang dibencinya.
Tidurlah, bocah. Tidurlah. Ini hanyalah
mimpi buruk semata. Ketika kau terbangun di esok hari, mentari akan kembali
menerangi, langit biru terlukis indah, dan…
…kau akan kembali melihat dunia yang sama.
Perang telah berakhir, anakku.
Au Revoir
Membuka mata dan
menutupnya kembali. Beberapa kali berselang, ia yakin ia tak mengenakan selembar
kain pun. Hanya selimut beludru merah tampak menghangatkan tubuhnya—bukan—ia
tak sendiri di atas ranjang berukuran queen
size itu. Melirik ke sisi kiri, ada tubuh lain yang membelakanginya.
Pikirnya melamun sementara dan merestorasi memori yang masih tersimpan.
Semalam, ia hanya bermimpi. Mimpi panjang akan masa lalu yang dipenuhi dengan
warna merah. Ia mengutuk dirinya seorang, memarahi dan memaki atas perbuatan
sesatnya—meracuni tubuhnya dengan alkohol hingga tak sadarkan diri.
Sial, sial.
Lagi-lagi hanya
garis-garis hitam putih yang terlihat. Ia meraba-raba meja kecil di samping
ranjang, meraih kacamata persegi jelek yang telah menempel terlalu lama di
puncak hidungnya. Andai saja kebiasaan buruknya yang sangat membenci segala
jenis sayuran telah hilang sejak dulu, kacamata itu tak perlu lagi menemaninya.
Hubungannya? Oh, ia pernah mendengar istilah orang tua—makanlah wortel, itu bagus untuk matamu. Peduli setan, ia masih
menolak mengunyah benda-benda berserat
itu.
Bentuknya kotak,
berwarna hitam, dan tampak terefleksi bagai bingkai jendela yang terbuka
sedikit. Ia bangkit, masih tak mengenakan apapun, lalu mengamati benda-benda
bak semut yang berhilir mudik di bawah sana. Saat menyentuh kaca jendela, ada
rasa dingin oleh embun pagi hari di jemarinya. Suara kain yang terjatuh
membuatnya menoleh, menaikkan kedua alis, lalu tak berkedip.
Se-sejak kapan…
Misa—
—ki?
“Oi, Saru. Setidaknya pakai dulu apapun itu
untuk menutup kau-tahu-apa yang
bergelantungan di bawah sana.” Menyebut kata-kata terakhir membuat siapapun yang kini sedang berbicara mengeluarkan
rona merah di kedua pipinya. Selimut beluduru merah menggulung-gulung sosoknya,
seperti ulat daun yang hendak bermetamorfosis. Mendengar koar-koar pemuda yang
senang mengenakan topi kupluk itu semakin membuat Fushimi berpikir di luar
batas normal. Tarikan sudut di kedua bibirnya membentuk seringai menyeramkan. Psikopat tingkat dewa, sebut pemuda yang
memiliki selisih tinggi badan sebelas senti dengan Fushimi itu.
“Aa, apa Mi-sa-ki ingin melihatnya? Dengan lebih jelas?”
“Ba-BAKA! KUSSO SARU!” pekik pemuda
berambut oranye itu. Hampir keseluruhan wajahnya dipenuhi dengan warna merah
menyala, seperti kepiting rebus yang masak. “Tsk! Kau memang tidak punya rasa
malu ya, heh?” Detik berikutnya, selembar kain berbentuk boxer melayang ke wajah Fushimi. Warnanya hitam polos, namun dengan
beberapa motif bintang-bintang. Sungguh pilihan yang sangat aneh.
“Che, kau ini
benar-benar menyedihkan, Saru!”
serunya. Tubuhnya yang masih berbentuk seperti sushi roll melangkah pelan-pelan, lalu memberi jarak sejauh mungkin
dari Fushimi. Tatapannya tak pernah lepas dari sosok yang kini masih menggeluti
pekerjaan membosankan di kesatuan SCEPTER4. Entah jenis pekerjaan apa yang
dilakukan pemuda berkacamata di hadapannya, like
hell I wanna know, pikirnya. Tetapi, pekerjaan semacam itu selalu
menjanjikan—mendapatkan gaji bulanan yang cukup untuk menghidupi diri sendiri
tentu. Hanya saja, suatu hari pernah berkata saat Fushimi Saruhiko muncul di
tengah-tengah keramaian Fun Land. Memerankan
tokoh pahlawan di panggung mini yang diperuntukkan untuk anak-anak kecil.
Namun, hal yang sebaliknya terjadi—sang pahlawan menghilang entah untuk alasan
apa. Hal ini membuat darah pemuda setinggi 166,9 sentimeter berwujud Gomera mendidih di atas kepala. Sungguh
sebuah peristiwa kuno yang tak ingin lagi dikenangnya.
“Hm?” Sembari
mengelus dagu, pemuda berkacamata itu tampak memerhatikan objek yang rupanya
semirip sushi kesukaannya. Senyum tak biasa masih melekat erat di sudut-sudut bibirnya.
Ada pemikiran lain yang hinggap dan sulit ‘tuk diucapkannya. Mungkin hanya
berupa ingatan semu sehingga penjabaran dalam kata-kata begitu minim. Ia tampak
memilih-milih kata yang tepat sebelum kembali berujar. “Wajahmu merah sekali
lho, Mi-sa-ki. Apa Misaki belum puas
dengan—“
Wajah mengutuk,
bibir bergemerutuk, jemari menunjuk. “LIKE
HELL! DAN BERHENTI MENGUCAPKAN NAMA DEPANKU DENGAN CARA MENGERIKAN SEPERTI ITU,
BAKA SARU! LA-LALU, PAKAI CELANAMU! A-A-ATAU TIDAK—“
“Atau tidak… Kenapa?”
Adalah hobi yang
menyeramkan dan sangat disukainya. Menggoda pemuda Homra yang suka membuat kerusuhan
itu. Apapun kata-kata yang keluar dari bibir Yatagarasu Misaki—Yata ataupun
Misaki—ini semakin membuat adrenalinnya berpacu dengan kecepatan penuh.
Kebiasaan aneh ini tumbuh mengakar semenjak ia mengenalnya. Ya—bocah yang terlihat begitu mirip dengannya. Masa lalu
banyak memberikan pemandangan menyakitkan untuknya dikenang. Namun,
perlahan-lahan kedua mata miliknya terbuka oleh warna polikromatis lain di
dunia yang mulai membusuk ini. Ironisasi dari sebuah karakter yang memilih ‘tuk
terdiam di sudut kamar dan mengabaikan jerit penuh tangis anak-anak lain di
sekelilingnya. Dahulu, ia hanya menahan air mata sembari memeluk tuan beruang.
Bocah itu dulu juga demikian. Nasib
seakan menampar dirinya, menunjukkan kesempatan sebuah pertemuan dengan bocah
yang tak pernah sekalipun bersedih meski hatinya kian meliar oleh kenyataan
yang pahit. Kenyataan lain bahwa ia seakan telah mengikat jiwa dengan pemuda
Homra itu.
Lama sudah ia
melupakan memori imbisil akan masa lalu. Hari ini dan esok hari akan berputar
seperti biasa. Mengejek dirinya yang masih terdiam di posisi—entah apa
maksudnya ini—ia juga tak begitu paham dan peduli. Baginya, sudah cukup jika
tatapan itu berkata seolah tak ada
hari esok ‘tuk dijalani dengan cara yang normal. Demi mendapatkan tatapan
membenci, membunuh, memaki—hanya itu saja. Hanya Misaki seorang yang
mencukupkan semuanya. Segalanya.
Hanya Misaki.
Mi—
—sa—
—ki
Perlahan, namun
pasti. Langkah kakinya bergerak maju dan diikuti dengan langkah kaki yang
bergerak mundur. Maju lalu mundur. Mundur lalu maju. Ia berhenti, menelengkan
kepala ke satu sisi dan menarik sudut-sudut bibirnya. Kembali, ia ingin melihat raut ketakutan yang
terpancar begitu jelas di wajah Misaki. Misakinya.
“Ma-maju
selangkah lagi, kau akan kupukul, Saru.” Pita suaranya menggetar. Sebuah fenomena
yang kerap kali terjadi, terutama jika harus berhadapan dengan sosok yang tak
sekalipun berniat ‘tuk menghentikan langkahnya itu. Baik dalam pertarungan satu
lawan satu, Misaki turut merasakan hal yang sama. Pacuan degup jantungnya
seakan berlomba dengan detik dalam waktu. Berusaha membuat benteng, pemuda
bertubuh ringan itu menahan sesuatu yang berdentum-dentum keras di balik
susunan tulang iga miliknya. Tangan terkepal erat dan nafas mengikuti ritme
debaran jantung. “Dan, dan—kenapa kau masih belum mengenakan celanamu itu,
HAH?!”
Kali ini, bukan
hanya kain celana yang melayang di angkasa. Papan skateboard bahkan bat yang
tersimpan manis di sudut kamar menjadi iming-iming agar Fushimi berhenti
melakukan hal yang ingin dilakukannya. Senyum khas psikomania masih tergambar
jelas di wajah pemuda berambut hitam kelam itu. “Fufu. Kenapa kau jadi penakut
begitu, Misaki? Bukankah sudah jelas
kau selalu berkata bahwa kau tak memiliki rasa takut terhadap apapun, kecuali
pada—siapa itu—oh ya, Raja kalian.”
“Berhenti
mengucapkan nama Mikoto-san dengan wajah seperti itu. Aku membencinya.”
Penghinaan, eh?
Lelah
mengobarkan kecemburuan. Ia teringat dengan bagian lain dari mimpi semunya.
Ketika tuan beruang menjadi satu-satunya boneka yang dimilikinya. Sebagai
hadiah tatkala usianya telah mencapai lima tahun. Pemberian yang paling
berharga dari sang ibu angkat dan tiada ingin dilepasnya. Anak-anak lain
merasakan amarah dan kedengkian padanya. Mungkin hal itu sangatlah normal,
tetapi tidak untuk seusianya. Ia mahfum, kecerdasannya menuntut dan berimbas
pada banyak aspek. Orang-orang dewasa di sekitarnya menyatakan kebanggaan yang
teramat besar atas prestasi akademik yang ditorehkannya meski di usia yang
teramat muda. Akan tetapi, anak-anak itu pun ikut tumbuh bersamanya, di
lingkungan yang sama dan dengan peraturan yang sama. Tak’kan ada yang mampu
memprediksikan masa depan. Sebab, masa depan adalah buah dari masa lalu.
Ia baru saja
kembali dari kelas musik dan senyum tertoreh bersamaan dengan benda yang
digenggamnya saat itu. Hasil kerja kerasnya selama ini kian membuahkan hasil.
Niat tulusnya ‘tuk memberikan radio kuno pada sang ibunda akhirnya tercapai.
Tak perlu lagi membawa-bawa radio rusak ke tiang pemancar. Cukup dengan
terduduk diam di kursi malas, menyisip secangkir teh hangat, dan merajut sweater musim dingin. Sekembalinya, ia
melupakan satu hal. Biliknya tak terkunci sempurna. Kesadaran penuh membuat
senyumnya pudar dan sirna. Tuan beruang tak lagi memiliki kedua tangan dan
kedua kaki. Busa-busa dakron hilang dari tubuhnya. Kini, tuan beruang hanyalah
seonggok boneka using yang dibenci. Dibenci oleh anak-anak jahat.
Fushimi merenungkan
banyak hal, tetapi tak ada satu pun yang membuatnya tersenyum dengan benar.
Pada akhirnya, ia akan melewatkan memori-memori itu dengan kejadian lampau yang
dipenuhi dengan kebencian. Ia sudah tak peduli lagi.
Jika tuan
beruang adalah Misaki. Mikoto Suoh adalah dirinya di masa lalu. Lalu, ia akan
memerankan tokoh apa?
Aku sudah tahu itu.
“Ne, Misaki. Kau masih berpikir Mikoto
adalah pahlawan, bukan?”
“Che! Tentu
saja. Meski Raja-mu berniat untuk
mengasingkan Mikoto-san dari kami, Homra akan tetap seperti dulu—dengan ataupun
tanpa Mikoto-san. Meski aku yakin, saat itu kami benar-benar lumpuh. Ya.
Tetapi, yang dulu tetaplah menjadi hal di masa lalu. Lagipula, perang sudah
berakhir. Yang tersisa untuk kami adalah merestorasi kembali apa yang telah
diperjuangkan Mikoto-san.”
Fushimi
mendesah. Bertolak pinggang. Mengangkat bingkai kacamata. Ia terdiam untuk
beberapa saat dan hanya merespon jawaban Misaki dengan garukan kepala. Sampai
kapan pun, pemuda di hadapannya tetap akan menjadi bocah. Selamanya.
Gaki. Ejeknya.
Misaki
mengerutkan keningnya. Membuat pose bertahan dengan tangan menyilang di dada.
Selimut beludru merah masih menggulung di sekeliling tubuhnya. Semakin
dieratkannya satu-satunya pertahanan yang sulit dijangkau Fushimi, menurutnya.
Meski, ia masih begitu yakin bahwa rasa nyeri di belakang tubuhnya akibat perkelahian sengit yang dilakukannya di
atas ranjang bersama Fushimi tak’kan hilang dalam waktu singkat. Ia harus
kembali menenangkan dirinya dari pemuda sadistik itu.
“Hah, kau lah
yang sulit memahaminya, Saru. Dan, biarkan aku mengambil pakaianku dengan
nyaman, ok?” tutur Misaki sembari melangkah tertatih ke arah sisi ranjang di
mana sebelumnya ia tertidur. Seraya tertunduk ‘tuk mengumpulkan pakaian yang
terjatuh, ia kembali meringis. Dari jauh, Fushimi memerhatikan hal lain yang
tampak dari sudut pengelihatannya. Dengan deheman tipis, ia benar-benar bangga
dengan hasil kejahatannya yang mutlak pada pemuda bertopi kupluk itu.
Bekas-bekas yang sulit untuk dihilangkannya meski dengan sabun sekalipun.
Perfect kiss
mark?
Ia mendekat,
tetapi masih menjauh. Zona nyaman, sesuai permintaan Misaki, ia berikan tanpa
perlawanan. Lagipula, permainan mereka
semalam sudah cukup mengobarkan adrenalin yang telah lama hilang dari dirinya.
Pertempuran yang tak pernah berakhir dengan sia-sia.
“Kalau kau
memang tak suka mengenakan celanamu, sebaiknya kau pergi ke kamar mandi dan
bersihkan dirimu atau apa saja asalkan tidak merusak pemandangan. Kau tahu,
Saru, semakin lama aku mengenalmu, aku berani bertaruh kalau kau juga semakin
aneh,” cemooh Misaki sembari mengenakan pakaiannya satu per satu. Kedua matanya
berkedip tak sempurna, melihat cahaya sinar mentari yang mulai meninggi dan tak
malu-malu lagi menyinari tiap sudut dari bilik milik Fushimi itu. Ruangan yang
hanya berisi ranjang berukuran queen bersama
dua buah kursi kayu dan meja kotak berkaki empat tampak begitu normal bagi
seorang Saruhiko Fushimi. Kumpulan buku-buku berbahasa asing jua tertata rapi
di dalam rak-rak kecil tepat di samping bingkai jendela. Tirai-tirai semerah
darah tersingkap dan menjadi penanda akan dimulainya hari baru untuknya. Aneh,
pikirnya. Ia seolah mengingat banyak hal melalui kubikel kecil berlantaikan
kayu itu. Setiap aroma, bunyi decitan saat melangkah, dan sosok yang mengisi
ruang ini tampak begitu nyata. Entah sudah bertahun-tahun ia tak lagi merasakan
keganjilan yang sama seperti saat ini. Ya. Tepat ketika pemuda itu mengatakan selama tinggal padanya. Memutuskan ‘tuk
membuang jauh-jauh pikiran itu, Misaki mendesah panjang.
Selesai dengan
aktivitasnya, ia kemudian menoleh, mengamati tubuh polos Fushimi yang tak
terbalut satu helai kain pun. Pinggulnya yang ramping dan kulitnya yang entah
terlalu mulus untuk ukuran seorang pria—terutama bagi Saruhiko Fushimi yang
lebih banyak menghabiskan waktu kosongnya di jalanan—menjadi
pertanyaan-pertanyaan yang berputar tiada henti di kepalanya, seperti bola
dunia. Tetapi, saat itu sudah begitu dulu. Mungkin ia melakukan perawatan?
Memikirkannya semakin membuat Misaki terdiam selama sepersekian menit. Cepat-cepat
ia membuang pikiran konyol itu. Kenyataan bahwa ia sulit menghilangkan rona
kemerahan konyol di kedua pipinya selepas memerhatikan intens mahakarya Tuhan
yang luar biasa itu, tak pelik mengurangi kadar kebenciannya. Toh, ia sama
sekali tak pernah membenci Fushimi. Gejolak emosi yang bergerak tak stabil
inilah penyebabnya. Ia tak mengerti.
Kembali ia
menyipitkan kedua mata saat sinar berbentuk bintang berpendar dari arah abdomen
pemuda berkacamata di sampingnya. Penasaran, ia melangkah tak peduli. Dan,
keterkejutan tak bisa disangkalnya saat mengamati sebuah logam berbentuk bulat
kecil melekat di pusar Fushimi. Spontan, Misaki menyentuh benda itu dengan
jemarinya. Rasa dingin aneh teraba di ujung jemari miliknya, “se-sejak kapan
kau—“
“Oh. Maksudmu piercing ini? Yah, sudah lama kok.
Bersama dengan tato ini juga.”
Misaki semakin
membulat tak percaya. Dengan wajah mengangetkan, ia memandangi gambar
bintang-bintang mulai dari ukuran besar hingga kecil yang mewarnai sisi kulit
pinggul tubuh Fushimi. Disentuh-sentuhnya lukisan berwarna kehitaman itu seolah
menemukan benda aneh yang unik. Ia merasa kecolongan untuk satu hal—semestinya
ia menyadarinya sejak semalam, bukan? Atau mungkin, ia tidak benar-benar bisa
memerhatikan hal sekecil itu oleh karena fokus yang mengarah pada sesi perkelahian. Tanpa sadar, pemuda Homra
itu merona untuk suatu hal yang tak beralasan.
“Kau ini,
seperti hippies.” ejek Misaki, masih
menunjuk-nunjuk antara piercing di
pusar Fushimi dengan tato bintangnya.
“Haha. Doumo. Tapi… daripada Misaki menyentuh
bagian yang tidak jelas, kenapa tidak menyentuh di sini saja? Ne, Mi-sa-ki.”
Di sini adalah sebuah tempat yang sulit
untuk dideskripsikan dan dijabarkan dengan kata-kata. Karenanya, Misaki
memberontak dengan kembali memaki-maki pemuda yang jauh lebih tinggi darinya
itu. Namun, ia tak bisa mengingkari saat rona merah di kedua pipinya semakin
memerah saja. Dengan seribu kata yang keluar dalam waktu yang nyaris bersamaan,
Misaki melangkah jauh-jauh ke arah pintu bilik. Dengan kasar, ia memutar grendelnya
dan memerlihatkan wajah sebal tiada maaf pada pemilik kamar. Tak sempat pula ia
mengucapkan kata-kata dan pergi begitu saja. Bahkan, dengan emosi yang
meluap-luap, tak kuasa ia membanting pintu hingga menimbulkan suara yang
memekikkan.
Ah, Misaki yang tsun-tsun. Semakin imut
saja.
“Misaki—kau
melupakan skateboard-mu.“ panggilnya.
“NANI?”
Fushimi cukup
terkejut. Pemuda berwujud bocah itu masih berada di sana. Setelah mengenakan boxer yang sedari tadi dilemparkan
Misaki padanya, ia mendekat ke arah pintu sembari menawarkan papan seluncur
beroda kepada pemiliknya. Dilihatnya wajah yang gusar namun menyisakan bias
rona merah tipis itu.
Suara tonggeret
musim panas kian berbunyi riang melalui celah lubang yang entah bermula dan
berasal dari mana. Kibas-kibas dedaunan pepohonan bernyanyi bersama
lonceng-lonceng mini berwujud miniatur paus. Ada tawa yang teredam melalui
bisik-bisik angin. Langkah-langkah kaki bergerak mengikuti ritme melodi dalam
balok not yang tak pernah selesai. Jantung berdegup cepat, memompa darah dengan
velositas yang tak seimbang, pacuan adrenalin memaksa tubuh tak lagi terdiam.
Bagai kereta kapsul berkecepatan tinggi, itulah denyut nadinya. Wajah demi
wajah bertemu. Tatapan hanya tertuju pada jemari kaki yang tak terlapisi kain
sepatu.
Yatagarasu
Misaki masih berwujud bocah saat ia mengenal Saruhiko Fushimi. Strategi takdir
menuntun keduanya beradu pada nasib yang sulit. Ketika itu, mereka masih
berusia tiga belas tahun. Mereka hanyalah bocah yang berusaha bertahan hidup
dari tujuh warna dunia miliknya. Pada akhirnya, sesuatu yang mengikat
mereka—sebutkanlah takdir—berujar dengan angkuh bahwa hidup tak’kan pernah
mudah. Hidup adalah panggung sandiwara yang dipenuhi dengan kisah ironis.
Ironis sekali, bukan?
Bukankah dulu kau bermohon-mohon padaku?
Bukankah dulu kau berkata jangan menangis sendiri lagi? Lalu, bukankah wajah
itu adalah wajah yang sama saat meminta agar aku tak meninggalkannya lagi?
Meninggalkanmu?
“Ne, Saru. Apa… kau benar-benar membenci
Homra? Ataukah kau membenci Mikoto-san? Membenci Kusanagi-san? Membenci
Totsuka-san? Membenci kami? Membenci—“
Jangan katakan itu, Misaki.
Jangan. Jangan. Jangan!
“—ku?”
Kau menginginkan jawaban, Misaki?
Kau butuh jawaban itu?
“Perang telah
berakhir. Semuanya—semua misteri ini dan itu—lalu, kematian Totsuka-san.
Segalanya. Sudah selesai, Saru. Sudah berakhir. Maka dari itu—“
Dingin. Tentu.
Ia tak mengenakan pakaian apapun. Tak menutupi tubuhnya dengan selimut beludru.
Sama sepert dahulu. Dulu sekali. Ketika ia kembali dari gereja kecil di tiap
akhir pekan. Sehari sebelum perayaan Natal. Dingin, dingin, ujarnya sembari
berlari menembus badai salju. Mungkin, rasa dingin itu akan melukai tubuhnya.
Membersihkan dosa-dosanya. Tapi, ia mahfum, cara konyol itu tiada guna dan
manfaat.
Ia mendapatkan
senyum tulus di sebuah wajah yang ingin selalu disentuhnya. Ia tak ingin senyum
itu lenyap secepat badai salju. Ia… menginginkan senyum itu terpatri selamanya.
“—ayo kita
pulang, Saruhiko Fushimi.”
Tubuhnya
gemetar. Kata-kata itu terucap jelas dan eksplisit dari bibirnya—bibir bocah
cilik pemarah yang membenci kotak susu di setiap paket makan siangnya.
Ayo kita pulang.
Ayo kita pulang.
Ayo kita pulang.
Ayo kita pulang.
Direngkuhnya
tubuh itu seorang diri. Tubuh miliknya. Mendekap objek hidup yang dingin itu.
Lalu, sebuah tangan melekat di salah satu bahu miliknya. Menepuk-nepuk pelan
dan berkata tidak apa-apa, semuanya akan
baik-baik saja. Sehelai kain berwarna merah menggantikan selimut beludru
yang bersimbah darah. Dikenakannya pada tubuh yang masih terlihat tremor entah
karena apa. Sweater Misaki tergantung
di kedua bahu bidang Fushimi. Dan, untuk pertama kalinya, ada tawa yang
tertutupi dalam deretan kata penuh ejekan.
“Baka.”
Saruhiko Fushimi
memanggil kembali memori tua yang terekam melalui mimpi-mimpi panjang tak
berkesudahan. Ia masih melihat seorang bocah cilik tengah memeluk boneka tuan
beruang miliknya yang usang dan dekil. Tampak jahitan asal-asalan di kedua kaki
dan tangannya. Rasa dingin oleh salju di luar sana membekukan tubuh rentanya.
Hanya selimut beludru merah beraroma amis yang kian tersisa. Malam penuh
dihabiskannya dengan menyepi diam di sudut kamar bersama kursi malas yang reot.
Decitan kayu-kayu serta tapak kaki tikus serta serangga malam menjadi musik
latar. Adalah seorang pemuda yang kini berdiri termangu bersama kacamata
membingkai refleksi pencahayaan miliknya.
Dunia telah
berubah. Sebab, itu hanyalah mimpi. Ya.
Sebuah mimpi
yang tak memiliki awal dan akhir.
Begitu pula
dengan perjumpaan serta perpisahan.
Kita akan kembali ke sebuah rumah di mana
dahulu kita dibesarkan bersama-sama. Bukan begitu, Saru?
“Tentu. Tentu
saja, Misaki.”
Con
te partirò
Io
con te.
---
la
fin
---
A/N : WOAAAAAAAAAAAAAA! AKHIRNYA JADI!
JADI! JADI! *malu seberat-beratnya*
Gak tau mau
bilang apa, terserah yang baca. Review please. *lari ke angkasa*
0 komentar:
Posting Komentar