Malam, fellas. Hari ini, bertepatan dengan hari ulang tahun mangaka ter-superb sepanjang masa, yakni Masashi Kishimoto-sensei, saya kembali hadir sembari membawa beberapa deret kalimat menyakitkan mata dan sulit untuk dicerna oleh akal dan logika. Ibaratnya jasad renik yang secara tingkat molekuler sangat sulit untuk dilihat-dirab-diterawang, tulisan ini murni hanya bisa dibaca dengan mikroskop elektron versi 2020. *bercanda to the max* Haha.
Neurology empat minggu itu sesuatu ya. Bagi saya sih. Siapa yang gak bilang bukan sesuatu? Gimana ya. Bagian pertama saya kan santai bin senggang, berbeza (berbeda in Malay) dengan bagian kecil tapi cukup menguras keringat dan hati hingga sampai-sampai bisa terkena fractur hepatica (patah hati ye kamsudnya). LOL. Ah, bejibun dan deretan kasus yang masuk menjadi media saya untuk belajar. Pasien tentu adalah alat pembelajaran koass ingusan kayak saya. Mempraktikkan teknik-teknik pemeriksaan neurologis yang bejibunnya minta ampun itu. Dibandingkan interna, konon katanya, neuro adalah satu bagian kecil tetapi memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Kumpulan pemeriksaan dari atas kepala hingga kaki secara menyeluruh dan holistik dalam bidang saraf (neuro) biasanya kami sebut dengan status neurologis. Jadi, kalau ada yang tanya gimana status neurologisnya, dek? Ya, jawab saja dari deret-deret-deret hasil pemeriksaan ntu.
Well, di sini saya bukan mau memberikan toturial atau teori mengenai klinis yang gak ada hubungannya dengan brain stuck koass gaje binti sedeng ini. Itu sih bisa dicari sambil gugling. Di kolom ini isinya cuma kegajean semata. Haha.
Minggu pertama, saya layaknya koas baru yang pada umumnya tiba di ruang pertemuan bagian saraf Lt. 4 RSP universitas saya (yang gedungnya serba warna merah itu lho). Selama ya kira-kira 2-3 jam kami duduk diam, mendengarkan dengan khidmat instruksi dari residen (dokter yang sedang mengambil masa pendidikan spesialisnya) neuro mengenai tata tertib selama berada dan menjalankan tugas di Rumah Sakit rujukan universitas dan link-linknya. Okeh, fine. Itu selesai. Masalahnya adalah... tenonet tenonet. Kebetulan saya dapat surat stase di rumah sakit yang ajegile jauhnya dari lokasi saat itu kayak dari utara ke selatan atau barat ke timur. Apalagi saya ini mahasiswi koass miskin yang peduli dengan kemacetan (bo'ong). Makanya, saya milih angkot sebagai penghematan. Tapi masalah kedua yang lebih parah adalah: ADA DEMO BROOH. Demonya itu gak santai, man. Yah, perihal angkotan umum yang dilarang masuk ke wilayah kampus mengakibatkan terjadinya amuk massa dari para supir angkotan umum itu. Imbasnya, mahasiswa yang peduli pun ikut-ikutan turun ke jalan sambil bakar-bakar ban di fly over. Buset dah. Kapan sampainya deh saya kalau gitu? Bzzzzt.
Intinya, saya di dalam angkotan umum itu rasa-rasanya kayak udah sehari aja. Padahal cuma dua jam. apaaa? cumaa? Gila.
Ya sudahlah. Saya memaklumi hal itu, toh demonstrasi semacam ini bukan untuk kepentingan satu pihak saja, melainkan kepentingan ribuan mahasiswa yang setiap harinya menggunakan angkotan umum sebagai akses mereka menuju fakultas mereka masing-masing. Kalau saya masih jadi mahasiswi pun, mungkin saya juga bakalan geram. Gimana tidak? Tiap hari, saya pulang naik angkot. Sukur-sukur kalau si mama mau jemput. Tapi biasanya sih nggak, menghemat solar brooh (alasan klasik si mama).
Sebagai koass neuro minggu pertama, kehidupan masih adem ayem tapi dipenuhi dengan kebingungan-kebingungan yang sangat nyata. Kita harus melakukan apa, kita harus bagaimana, dan blabla lainnya, masih sangat kacau dan blur di otak saya. Instruksi saat di RSP sih memang mudah dipahami, tapi lain rumah sakit kan lain aturan. Mana ini rumah sakit juga pasiennya lumayan banyak, jadinya para residennya juga lebih menyibukkan diri dengan pasien-pasiennya dibandingkan kita--si koass minggu pertama yang kebingungan. Jadilah, saya hanya manut-manut seperti anak ayam di belakang induknya biar bisa ngeh sama perjalanan hidup selama menjadi koass neuro.
Hari-hari berlanjut dan tiba lah hari saat saya harus mendapatkan pengalaman pertama jaga. Jadi, sistem jaga ada dua, kecuali pada hari Sabtu dan Minggu, sistem jaganya jadi tiga. Ada jaga pagi (dari jam 7 pagi hingga jam 2 siang); jaga siang (dari jam 2 siang hingga jam 9 malam); dan jaga malam (jam 9 malam hingga 7 pagi). Saya dapat jaga siang saat itu bersama kakak minggu saya, inisial 'A'. Entah bagaiman, mungkin ia pemanggil (istilah yang biasa kami gunakan pada koass yang punya tendensi memanggil pasien baru). Karena, setiap kali saya jaga bersama dia, selalu saja ada pasien baru yang gawat dan akhirnya harus dimasukkan di kamar ICU. Bertanya soal lelah dan capek itu sudah biasa, terlebih di kalangan paramedis. Tidak ada yang namanya tidur nyenyak hingga mentari tiba dan ayam berkokok di esok harinya. Yang ada adalah telpon bertubi-tubi jika pasien mengalami kegawatan atau pasien baru yang tiba di UGD. Semuanya kami terima dengan tangan terbuka dan kami siap menangani kondisi kritis mereka. Itu sudah menjadi bagian dari sumpah kami, tentu. Lalai sedikit saja akan mengubah banyak hal. Terutama saat kita berbicara mengenai nyawa. Terlambat sedetik saja bisa fatal akibatnya.
Tapi, nyawa itu siapa yang pegang sih?
Prognosis atau kemungkinan perjalanan penyakit di kemudian hari biasanya kami bedakan menjadi tiga: bonam (baik), dubia (ragu-ragu), dan malam (mati). Pernah suatu ketika, saat saya sedang berdiskusi mengenai kasus seorang bocah yang mengalami trismus e.c susp tetanus cephalic (kejang tiada henti) pada seorang residen senior, saya salah menuliskan isi prognosisnya kelak. Yang saya tulis saat itu adalah bonam, padahal saya tahu bocah itu sudah meninggal tak lama setelah saya dan kawan jaga saya menangani kejang-kejangnya yang memang sudah sulit dihentikan meski dengan pemberian diazepam berampul-ampul. Jenis tetanus yang dialami si bocah ini memang terbilang jarang karena dipengaruhi oleh faktor riwayat pendahulunya: otitis media supuratif kronik (radang telinga kronik). Jadi, sudah seharusnya saya menuliskan di situ sebagai dubia et malam, bukannya bonam. Tetapi, saya segera menghapus dan menggantinya dengan malam saja karena saya tahu bocah ini sudah meninggal. Tahu-tahu, residen saya malah mencubit kecil punggung tangan saya. Beliau berkata: "Nyawa itu siapa yang pegang sih? Kan hanya Tuhan. Tulis saja di situ dubia, meski kamu tahu anak ini memang sudah meninggal."
Di minggu ketiga saya, sebuah peristiwa menarik terjadi. Kasus yang saya hadapi hampir sama seperti pada bocah yatim piatu dan malang yang meninggal akibat tetanus itu. Kali ini adalah bocah perempuan usia 8 tahun yang tiba dengan kesadaran menurun akibat meningitis purulenta. Lagi-lagi bocah ini lepas di depan mata saya. Mendiagnosis kematian seseorang secara teknis memang gampang. Orang non medis juga tahu kok. Tetapi, pertanyaan mendasar yang terbersit di benak saya saat itu adalah apakah kita sudah siap untuk menerima kematian itu sendiri?
Minggu keempat adalah minggu ujian. Ujian sih jangan ditanya. Di mana-mana, yang namanya ujian memang sulit. Sehebat apapun kita tentu tidak bisa mengalahkan pendahulu yang sudah lebih senior, contohnya penguji kita sendiri. Tapi ya, banyak berdoa saja. Dunia koass adalah dunia persaingan sehat. Bagaimana kita mau bersikap dan menghadapi tantangan yang nyata dan dipasang tepat di depan mata kita tergantung dari sifat mendasar yang sudah terbentuk sejak awal. Bahwasanya, karakter sesungguhnya dari seseorang baru muncul di saat ia sedang dihadapkan dengan persoalan yang rumit dan membutuhkan waktu singkat untuk diatasi. Lalu, di sinilah kita ditempat, bagaimana menjadi koass yang bermutu, tidak hanya dari segi ilmu tetapi juga dari sisi moral. Ahli medis dianggap dewa bukan karena mereka memberikan teori bejibun dengan bahasa malaikat setingkat Kamus Dorland. Tidak, tentu. Melainkan pada output yang match dengan situasi padahal input dipenuhi dengan konotasi berbau medis.
Saya hanya memiliki sudut pandang yang simpel mengenai kehidupan profesi. Pada umumnya, selalu sama dengan profesi-profesi lainnya di luar sana. Memiliki kode etiknya masing-masing dan aturan yang berlaku. Keluar dari sumpah berarti membuat masalah dengan Tuhan. Mengapa? Sebab, saat kami telah bersumpah, kami tidak menggunakan nama Hipocrates, tetapi nama Tuhan kami.
Lagi-lagi, sebelum berpisah, saya hanya ingin memberitahukan bahwa curhatan ini adalah murni dibuat atas kegilaan dan kegajean seorang koass sedeng. Menumpahkan isi hatinya di kolom blognya yang tiada harap ingin menjatuhkan nama ataupun gelar siapapun. Jika ada kata-kata yang salah, mohon dimaafkan.
Sekian dari saya,
may joy stays forever in our heart.
Neurology Post Exam
Kamis, 08 November 2012
Diposting oleh Leon di 21.56
Label: curcol, stupid rambling
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar