For the moment I knew Sasaki is Kaneki
himself. For the moment when I saw Arima talked to Sasaki like a father to his
child. For the moment when Arima decided to keep Kaneki Ken as his precious
child, not being his quinque. And for the moment when TG:re ch 6-7 spoiled my
pure kokoro.
Settle right after Haise had gone into
berserk mode and nearly killed Nishiki/Serpent. Scene before he was sent to
meet up Arima in CCG Meeting HQ.
Tokyo Ghoul & Tokyo Ghoul: re © Ishida Sui
Phoenix
by Leon
—It resembles the true
meaning of eternal life
Haise.
Haise.
Hai—se.
Wake up.
Haise—
—my dear Haise.
Sepasang
mata terbuka.
Sejenak,
memastikan jika surga ataupun neraka tidak memiliki langit-langit yang
berhiaskan lampu kristal. Nafasnya mungkin tidak karuan, semacam ada maut yang
baru saja dilepas dari puncak usianya. Sepersekian detik hingga beranjak menit,
ia mengatur bait demi bait hembusan dalam rongga dada. Mengulangi banyak momen
tatkala kesadaran milik pribadi lain dalam
jiwanya meliar lepas dan mengambil alih otak hingga kewarasannya. Oh, Kaneki
Ken bangkit oleh ketidakbecusannya mengurusi dua bocah tengil yang sibuk
menawarkan diri untuk ditelan bulat-bulat oleh ghoul-ghoul sinting macam Torso. Ia lelah, tapi nafasnya kembali
normal.
Melipir ke
sudut kiri, jendela itu dibiarkan tertutup rapat meski desir angin malu-malu
meminta ruang untuk masuk. Denting tiktok jam dinding ikut bersenandung bersama
lentingan bel-bel kecil yang terikat bersama boneka penangkal hujan. Kaneki Ken
kembali tertidur lelap. Haise Sasaki mendapatkan kesadarannya secara utuh. No more berserk boy. Awal yang bagus
untuk menerima tamu.
“Hai.
Terkejut?”
Seperti
memiliki indera cenayang, Akira Mado muncul secara mistis bersama ekspresi
skeptis yang jauh dari kata empati. Mungkin ia telah melalui lebih dari apa
yang disebut kemalangan hingga sedikit lagi menuju kata mati. Ditinggalkan atau meninggalkan, para investigator CCG memilih
menutup buku penerawangan. Sebab, dengan secangkir kopi hangat, mereka paham
ada hidup yang sedang dipertaruhkan. Alasan legit, namun Akira tidak pelit
memberi senyum sentimental. Sosok di atas pembaringan mewah itu sedikit-sedikit
mengangkat wajah hingga setengah tubuhnya. Hanya terbungkus kemeja gelap yang
tiga anak kancing teratas dibiarkan terbuka. Wanita sekelas Akira di luar sana
akan tak sungkan menyentuh dada bidang berotot itu seandainya si empunya
memiliki kharisma seduktif yang hebat. Sayang, Haise Sasaki hanya jago dalam
hal pun*. Akira mendekat walau ada
jarak yang luar biasa tampak.
“Mereka
melarangku mendekati kamarmu. Tapi, Arima-san tidak mempermasalahkannya sama
sekali. Mereka berpikir Kaneki Ken akan muncul seenak udelnya. Jadi, aku kemari
bersama secangkir penyegar dahaga.”
Kata
‘dahaga’ membuat Haise berjengit. Bagai terbangun setelah seribu tahun masa
dorman, ia tak menampik kerongkongan yang haus akan darah adalah manifesto
pertama. Ia ghoul, tetapi ia manusia
sempurna. Menggigit bibir tidak cukup membuat Akira berdiri termangu seolah ia
hanya pelayan pengantar sarapan pagi. Duduk di tepi ranjang empuk Haise, ia
menyodorkan secangkir hangat kopi yang mengepul nyaman. Tatapan menolak akan
dibalas oleh Mado-punch. Haise
meraihnya, namun terhalang oleh poni-poni papan catur. Beberapa kali ia
berusaha mengibasnya seperti gaya Elvis Presley, namun gagal.
Akira tak
sanggup menahan seringai nakal di bibirnya.
Ia menunggu
hingga Haise selesai dengan sesi pergolakan batin yang panjang. “Kuharap
tembakanku tidak benar-benar membuatmu—.” Jeda, “—amnesia.” Ia membasahi
bibirnya untuk melanjutkan. “Bukan tembakan terbaikku sesungguhnya. Bukan sama
sekali. Hanya saja, kenapa—“
Pemuda itu
tertunduk. Meremas kuping cangkir dengan jari-jarinya yang mengkerut—akibat
dehidrasi yang panjang. Kuku-kukunya mulai kembali menghitam, seperti kurang
nutrisi atau masa penyiksaan panjang yang dahulu
pernah dialami sisi lain yang kini masih bersemyam dalam pribadi uniknya.
Tulang pipinya mencekung, bersama rongga mata yang dalam. Haise—bukan—Kaneki butuh lebih dari sekadar
secangkir gula balok imitasi dan kopi. Akira menghela nafas.
“Lihat. Kau
hanya tertidur selama tiga minggu dan lihat rambutmu tumbuh hingga menutupi
mata. Dalam setahun, CCG akan disambut oleh Rapunzel-man.”
Haise
berusaha tersenyum. Begitu lemah.
“Gomen.”
“Huh?”
“…untuk apa
yang telah terjadi. Aku benar-benar merasa sangat….”
“…”
“Akira-san
telah melakukan apa yang Akira-san dapat lakukan. Aku sangat menghargainya.
Bukankah itu memang perintah dariku untuk Mutsuki? Aku—aku tidak tahu seberapa
kuat aku bisa mengendalikan Kaneki saat
aku terpaksa melepasnya demi Quinx. Tak ada satupun yang boleh menyakiti
anak-anak buahku. Pikiran itu menghantuiku hingga bagian terdasar yang tak bisa
kuambil alih. Ia pun mengambil
tubuhku, kewarasanku, semuanya—ingatanku.
Bahkan memori di mana Arima-san men-men—“
Oh, dia memerah.
Dengusan
Akira menyadarkan Haise beberapa saat. Ia berjengit kecil sementara wajahnya tampak
seperti dilempari tomat masak.
“Kau seperti
anak kecil, Haise. Benar-benar anak kecil.” cibir wanita itu setengah terkekeh.
Diam-diam, Haise menyeruput kopi dalam cangkir di tangannya. Menenggaknya tidak
karuan, namun meninggalkan suara bak tupai tersedak kacang kenari. “Easy, easy. Arima-san akan datang
sebentar lagi. Aku yakin itu. Dia hanya perlu sedikit waktu tambahan agar Dewan
Konselor menghapus kasusmu. Justru, aku merasa dia lah yang bertindak sebagai
‘Ayah’ untukmu. Mengurusi masalah-masalahmu dan menjadikanmu sesosok ‘anak’
manis yang imut. Aku menyaksikannya sendiri.”
Mata biru
Akira mengerling penuh arti ke arah Haise. Pemuda itu menurunkan kembali
cangkirnya, menggenggamnya, lalu menolehkan wajah. Mengingat jauh ke luar.
“Tim Hirako
ingin mengambilmu setelah yah kekacauan
itu. Itu bukan kesalahanmu, Haise. Bukan kesalahanmu.” Senyum di bibirnya
terlisan jelas. “Tahukah kau sesuatu, Haise? Awalnya, aku salah satu yang
bersikeras agar kau berakhir sebagai quinque—dalam
koper dan tertidur selamanya. Kau—musuh alami
kami. Tetapi, pada akhirnya Arima-san
tiba bersama teori-teori yang sulit kupahami. Ia mungkin terlihat biasa dengan
kacamata dan stelan CCG-nya, namun ada satu hal yang tak bisa ditampik siapapun
begitu melihat ia tengah berbicara. Seolah… ia adalah reinkarnasi orang suci
yang kini bermukim di surga. Ia memberimu kehidupan
yang takkan bisa kau bayangkan. Ia jua memberimu sebuah nama, identitas, lalu cinta. Itu yang
terpenting.”
Bibir Haise
bergetar. Poni-poni papan catur yang mulai memanjang menutupi bagai bayangan
gelap di wajahnya.
“Ia selalu
saja membelamu dengan suatu harapan pada
semua investigator CCG yang meragukan eksistensimu di sini bahkan pada
mantan anak buah kesayangannya, Hirako.
Aku tidak pandai mengutip kata-kata orang hebat sepertinya, tapi aku mengingat
dengan benar ia berkata sembari tersenyum, ‘Kaneki
Ken adalah anak baik. Ia pantas mendapatkan kesempatan kedua.’ Jika hal
yang sama terjadi padaku atau pada—“
Kini, ada jemari-jemari yang diurut dan diremas. Kerongkongan yang terasa
kering dan air mata yang berusaha jatuh membasahi dua pipi yang pucat.
Tirai-tirai jendela yang bergoyang oleh angin menjadi titik pengamatan
terjauhnya. Akira Mado terlalu lelah untuk lebih banyak berbicara.
“Dunia di
mana kita berpijak saat ini terlalu kejam. Keadilan manapun takkan mampu menghakimi
baik manusia atau ghoul. Aku mungkin
tak bisa melihat dari kacamatamu, Haise—kau yang setengah ghoul dan setengah lagi manusia. Jadi, berjuanglah. Dan, jadilah
dirimu yang sesungguhnya. Aku tahu kau bisa melaluinya. You are good boy.”
Kata-kata
pemanis itu terulang lebih dari sepuluh kali di kuping Haise dan denyut jantung
Kaneki Ken yang tertidur amat pulas. Ikut
berdetak tanpa akhir hingga Akira Mado menghilang di balik pintu mahogany pucat
bersama sebuah cangkir kosong. Setelah knop terdorong, kamar itu terasa sepi.
Haise ingin tertidur kembali. Memutar-mutar banyak memori yang sempat direnggut
paksa Kaneki darinya. Ia hanya ingin kehidupan yang normal dan Arima Kishou
telah menunjukkan sebuah jalan untuknya. Namun, sekelebat ingatan di masa lalu
Kaneki Ken membuatnya ragu. Kumpulan fragmen milik Kaneki Ken tak selamanya
buruk. Tanpa disadari Haise, ia dan Kaneki saling berbagi banyak hal. Salah
satunya memoar tentang Anteiku.
Anehnya, hal
itu justru membuat Haise ingin cepat-cepat terlelap.
Ia lelah
dan—
—sangat lapar.
[EAT OR BE MEAT]
[EAT OR DIE]
[EAT AND STAY LIVE]
‘Kau akan mati jika lebih memilih moralitas tololmu
itu, Haise.’
“Menjaulah.
Jangan ganggu aku lagi. Sudah cukup dengan permainan kejimu itu.”
‘Oh, jadi sekarang kau mulai memusuhiku, huh?
Setelah apa yang telah kuberikan padamu? Lihat, siapa yang kejam di sini. Kau
atau aku?’
“Urgh.”
‘Kapan saja aku bisa keluar dari penjara
konyol yang kau bangun setelah investigator yang amat kau cintai dan sayangi
itu memberimu apa itu tadi—kehidupan baru? Haha, konyol sekali, Haise. Mana
mungkin ia bisa menyingkirkan sebuah jiwa yang bahkan ia-lah pemilik tubuh itu?
Bangunlah dari mimpi panjang ini, Haise. Kau adalah aku. Aku melihat segalanya
tapi kau menyangsikannya.’
‘Bangun dan makan. Makan. Makan.’
“…hen-ti-kan
leluconmu itu.”
‘Oh ayolah, Haise. Haruskah aku memelukmu
lagi agar kau mengerti satu hal? Kau hanya kesepian, bukan? Kau pikir si
brengsek Arima Kishou itu akan hidup selamanya dan menjagamu seperti sepasang
kekasih. Hahaha. Berhentilah bermimpi. Aku lah yang akan tetap berada di
sisimu. Meski kau mati.’
“……”
‘Bangunlah, Haise. Bangun.’
“Di-am.”
‘Tsk!’
“Ugh!”
‘Kubilang, BANGUNLAH, SIALAN!’
“SHIT! SHUT UP, YOU FILTHY MONSTER!”
Berdengung.
Seperti ada ribuan lebah menggerayangi seisi kamar yang hampa dan gelap.
Ditemani suara tiktok jam dan desau angin tipis dari balik tirai jendela.
Serasa waktu berlalu lebih dari duapuluh jam, namun Akira Mado baru saja
meninggalkan langkahnya dari ruang yang sama kira-kira sepuluh menit yang lalu.
Haise mengeluarkan terlalu banyak peluh dan energi hanya untuk membunuh ancaman
demi ancaman Kaneki padanya. Ia lapar. Tapi, ia takkan berubah layaknya ghoul sinting yang menghendaki daging
tanpa melihat pengampunan. Perutnya beryanyi-nyanyi riang, sama dengan
lebah-lebah yang berbising ribut di kupingnya. Kabar baiknya, ia menang atas
konfrontasi Kaneki. Ia mengeluarkan sumpah serapah. Oh, entah sudah berapa lama
ia tidak mengeluarkan makian? Senjata ampuh, rupanya.
Berita
buruknya: sejauh apa kau mampu
mengendalikan dirimu yang sesungguhnya,
Haise Sasaki?
“Da-ging—tidak tidak—kau anak baik, Haise.
Arima-san berkata kau anak baik. Akira-san juga menyebutmu bocah baik.”
“Aku-anak-baik—ya ya. Aku lapar! Tidak, tidak, tidak.
Kau tidak boleh begini, Haise. Kau—hss
hss—daging. Aku mencium aroma daging.”
“Graah!”
Pemuda itu
berlari. Menepis selimut di atas ranjangnya. Peduli setan jika ia hanya
mengenakan boxer tanpa celana yang pantas. Setengah telanjang demi mengejar daging yang bertanggungjawab terhadap
air liur di sudut-sudut bibirnya. Lalu, menerjang kamar setengah redup dan
menuju pintu mahogani yang masih tertutup rapat.
Yang
anehnya, daging itu datang kepadanya.
Daging itu melangkah. Hidup dan darah
segar mengaliri siklus organnya. Mengenakan stelan mantel putih bersama
kacamata berpostur kotak cemerlang. Rambut putih keabu-abuan yang menawan. Menawarkan
dua buah lengan seakan siap menerima pelukan erat. Karena ia tahu sosok yang
tiba kepadanya justru akan menelannya bulat-bulat.
“Haise, good boy. My dear good boy.”
Seolah, ia
paham hari itu akan tiba. Dan, senyuman di bibirnya masih tergolek lemah.
Pintu
mahogani segera tertutup hingga beberapa hari ke depan. Tak ada satupun yang
diperbolehkan mendekat kecuali di waktu-waktu yang telah ditentukan Arima—pukul
7, 13, dan 18—sarapan pagi, makan siang dan malam. Termasuk di dalamnya suplai
perban serta medikasi penyembuh luka. Kecurigaan takkan tercium meski sudah
menjadi hal umum kunjungan Arima Kishou ke bilik super terisolasi milik CCG itu
adalah untuk menjinakkan Kaneki Ken.
Satu di antara sekian banyak permintaan sang legenda yang cukup mencengangkan
sekaligus mengherankan.
Walau
demikian, tak ada aroma anyir yang tercium selama pria itu bersembunyi bersama
sosok monster kecil di dalam sana.
.
.
.
“Apa yang
kau inginkan dariku?”
“Sebelum
menjawab pertanyaanmu, aku ingin kau menjawab pertanyaanku terlebih dahulu. Pikirkan
hal ini baik-baik, Kaneki Ken.”
“…”
“Apa—kau menginginkan
hidup semacam ini?”
.
.
.
“Arima-san…
Arima-san…”
“…”
“Arima-san—?”
Mengecup.
Mengelus lembut. Membisikkan lullaby.
“Apa kau
masih di sana, Kaneki Ken?”
“Hmm, aku masih di sini.”
Mengelus
lembut. Membisikkan lullaby.
“Kuharap kau
tetap di sana untuk menjaga Haise. Hanya kau yang dapat melindunginya selagi
aku tak ada di sekitarnya.”
“Hmmm.”
“Haise…”
“No, ini Kaneki. Mm, ngomong-ngomong, kau hangat sekali, Arima-san.”
“…”
“Haise
menyukaimu, Arima-san. Aku juga akan
menyukaimu.”
“Syukurlah.”
“But, love me more.”
“Tentu.
Tentu, Kaneki.”
.
.
.
‘Tidakkah kau tahu jika Haise Sasaki adalah
replika bermateri dari identitas seorang ghoul yang kusebut pengampunan dan
kasih sayang, Kaneki Ken?’
‘Jika kau membaca buku yang kupinjamkan
padamu, kau tentu mengingat analogi Phoenix*.’
‘—mereka akan membakar tubuhnya untuk hidup
kembali.’
‘Sama sepertimu, Haise. Sama sepertimu.’
.
.
.
One month later
Keempat Quinx duduk diam menunggu. Saiko yang
biasanya menggulung diri dalam tumpukan snack
dan video game-nya turut terganggu oleh fakta jika Sasaki Haise akan segera
kembali ke apartemen yang dihuni oleh keempat-empatnya. Mutsuki adalah salah
satu yang tak sabar menunggu kepulangan Sasaki. Pancaran khawatir dalam kemelut
ekspresinya membuat Akira Mado berpikir berulang kali saat akan menyusun
kata-kata yang sebentar lagi tersiar dari mulutnya. Penting baginya untuk tidak
berspekulasi sebab ada dua bocah yang kini harus berurusan panjang dengan
petinggi CCG. Siapa lagi kalau bukan si duo rebel
ini—Shirazu dan Kuki.
“Ng,
Mado-san—“
“Ehm!” Suara
bernada tinggi menjadi salam pembuka Akira. Mutsuki terkejut. “Aku tidak akan
mengulang apa yang akan kukatakan. Jadi, siapkan kuping dan pertanyaan kalian,
oke?”
Shirazu
menelan ludah berkali-kali. Matanya yang bulat melotot tak karuan. Menahan
nafas ketar-ketir di bawah hidungnya. Mutsuki menyimak dalam khidmat.
“Sebelum
masuk ke inti pembicaraan, ada beberapa peraturan yang kubuat di sini. Pertama,
untuk apapun yang kukatakan kelak, kalian tidak boleh membantahnya. Kedua,
semua yang kukatakan mengenai kondisi Sasaki bukanlah konsumsi publik. Jadi,
tutup mulut dan mata kalian di luar sana seolah percakapan ini hanya terjadi
dalam imajinasi kalian. Ketiga, Sasaki telah kembali normal seperti bagaimana
kalian mengenalinya. Ia baik-baik saja dan terima ia selayaknya Sasaki Haise.
Kalian mengerti?” Satu per satu, mata Akira menengok ke masing-masing wajah. Ia
mendapati Mutsuki yang ingin sekali mengajukan tanya. “Kau ingin bertanya,
Mutsuki?”
“A-ah, kurasa
tidak. Nanti saja saat Sasaki-san tiba.”
Wanita itu
tersenyum. “Kurasa kau lah yang paling dekat dengan Sasaki di antara
bocah-bocah ini, bukan?”
Ada
bibir-bibir yang tertarik hingga ke bawah. Cemberut parah.
“Ha ha.
Tidak juga kok.”
“Baiklah,
aku akan mulai dengan—“
Ting tong.
“Sassy-chan. Itu pasti Sassy-chan!” pekik Saiko tiba-tiba.
Sekonyong-konyong ia melompat dari kursinya dan melupakan ekspresi Akira yang
sedikit—tersinggung.
‘Sassy-chan? Sejak kapan bocah itu memerkosa
nama Sasaki dengan panggilan tidak imut itu, huh?’
“Ah! Itu
pasti dia! Aku mencium baunya! Sassan!”
Shirazu
turut meninggalkan percakapan mereka yang padahal belum memasuki ke inti sama
sekali. Mata Akira melirik ke arah dua sosok yang masih duduk tenang meskipun
ia menyaksikan sendiri betapa Mutsuki ingin sekali menyingkir dari lingkaran
kecil itu dan ikut menghambur bersama Saiko serta Shirazu ke arah pintu
apartemen mereka. Kedua lengan serta alisnya bergoyang-goyang tidak stabil.
“Kau tak
ingin bergabung, Mutsuki?”
“Ng… ji-jika
diperbolehkan, aku…”
Akira
mengangguk mahfum. Senyum lepas terpapar cerah di rona wajah Mutsuki. Ia pun
menggeser kursi yang didudukinya dengan setengah hati itu.
“A-arigatou!” tuturnya sembari
membungkukkan badan buru-buru.
Kuki Urie
menyesap minuman daun tehnya dalam diam. Wanita itu cukup mendengus seraya
menahan dagu. “Yah, jangan memaksa untuk bersikap sok dewasa, Kukicchi.
Bukankah lebih seru bertemu langsung orangnya dibanding mendengar ceritaku,
‘kan?”
“Tsk.”
“Haha. Sungguh,
kau memang yang paling tidak imut, Kukicchi.”
Derit
kaki-kaki kursi bergesekan dengan lantai kayu mengakhiri sesi tawa lepas Akira
Mado yang lumayan berhasil membuang rasa penatnya. Ia mengelus tepi mulut
cangkir tehnya, mengamati refleksi wajahnya di antara riak-riak warna hijau
cemerlang berukuran tak lebih dari lima senti diameter. Suara-suara sumbang dan
tawa dan riuh dan teriakan dan pekikan dan tangis dan haru menyatu tidak
karuan. Apartemen yang dibiarkan sepi selama beberapa waktu ini akan kembali
seperti sedia kala. Akira Mado meneguk perlahan dan menikmati hangatnya awal
musim semi yang indah di Tokyo.
“Hah, masa
liburan telah usai, Akira Mado. Kembalilah bekerja. Fight, fight.”
Beberapa
tapak kaki terdengar semakin mendekat. Sosok rambut hitam bergradasi putih tiba
terlebih dahulu. Cengiran dan senyum cerahnya tampak dua kali lebih hidup.
Mutsuki terlihat tak malu-malu lagi saat ia memeluk erat lengan Sasaki selama
pemuda setengah ghoul itu melangkah.
Saiko jauh lebih mengenaskan. Ia mengikat kedua lengannya di leher Sasaki dan
memaksa pemuda itu untuk menggendongnya secara piggyback. Shirazu terlihat menggaruk-garuk pipinya—mengucapkan
segelintir maaf yang sulit diutarakannya. Sasaki merespon dengan tepukan lembut
di puncak kepala bocah pirang itu. Kuki—well—tetap
menjadi Kuki Urie.
“Hora, hora. Bagaimana kalau kalian
berusaha membantu di sini, hm? Ada banyak barang yang harus diangkut ke kamar
Sasaki. Ada empat tas di sini, satu untuk masing-masing kalian, ‘kan?” titah
Akira mengatur. Betul-betul sang dewi penyelamat saat Sasaki tampak kerepotan
dan kelelahan dan perjalanan panjang. Mutsuki bertingkah selayaknya bocah baik
yang akan mendengar sebelum memprotes. Saiko dan Shirazu menjatuhkan bibir.
Kuki berdecak kesal.
Melihat
kilat penuh murka di mata Akira, keempatnya bergegas menggiring koper-koper
Sasaki ke atas. Belum lagi dengan kenyataan jika Arima Kishou masih menunggu di
luar apartemen.
“Kau tak
ingin bertemu dengannya, Akira-san?”
“Huh?
Siapa?”
“Umm…”
“Khekhe.
Tidak. Sudah terlalu banyak kata yang kudengar darinya. Aku tidak ingin
berdebat lagi. Bukankah kau yang seharusnya mengucapkan terima kasih atau
kecupan perpisahan untuknya, huh?”
Sasaki
menggosok dagunya. Lagi-lagi, bagai dilempari buah tomat masak.
“Pergilah,
temui ia. Aku akan ke sini mengawasi bocah-bocah itu dan menyuruhnya untuk
tetap di atas sebelum mereka menangkap basah tayangan eksklusif hubungan romantik terselubung antara sang
legenda Arima Kishou dan anggota CCG, Sasaki Haise.”
“Hngg!”
“Haha. Hush, hush. Pergi sana.”
Melengang di
antara dua kecurigaan. Akira menikmati hari-hari nyaman itu dan membiarkan
empat bocah Quinx bersitegang satu sama lain di lantai dua. Tepat di kamar
Sasaki.
Tersenyum
tepat saat Sasaki Haise berkata I’ll miss
you pada Arima Kishou. Lalu, mengecup bibir pria itu dan pintu apartemen
tertutup kembali.
“Selamat
datang, Sasaki Haise.”
Empat bocah
mengerumuni Sasaki selayaknya ibu Kanguru.
“Imissyou, Imissyou, Imissyou, Sassy-chan!” pekik
Saiko
“Bujide yokatta.” bisik Mutsuki lega.
“Sassaaaaan~
hiks!”
“Che,
selamat datang kembali.”
.
.
.
“Ya. Aku
pulang.”
.
.
.
Thank you for this blessed life, Arima-san.
Thank you, Kaneki Ken.
—Sasaki Haise
[The End]
*) Burung
Phoenix memiliki banyak kisah di beberapa negara. Untuk di jepang sendiri,
phoenix disebut ho-ō (kanji: “凤凰”) atau fushichō (不死鸟), secara
harfiah: “Immortal Bird”.
Jadi, burung
api ini melambangkan Kaneki Ken yang akan hidup abadi meski untuk beberapa masa
ke depan, akan begitu banyak identitas yang hidup setelahnya.
Well, saya kembali dari masa vakum
dengan fanfiksi dari fandom yang kali ini sukses menghancurkan kokoro saya.
Saya masih berjuang untuk tes komprehensif yang dilanjutkan dengan UKDI/exit
exam ddi bulan Februari 2015.
Honestly, I do miss my times as co assistant.
Tee hee. =’)
Thanks for reading, anw. =)
0 komentar:
Posting Komentar