---
TSUBAME
(燕)
by Leon
only for 10.10.2012
(Naruto Uzumaki’s
birthday)
Prompt: Reverse
Character.
(divided into two
parts)
.
Summary
: Tubuh kalian saling bertukar. Jiwa kalian turut bertukar. Kalian saling
membenci. Tetapi, bisakah pertukaran itu terjadi jua pada nasib? Kurasa tidak.
.
‘Siapa
namamu?’
‘Naruto!’
‘Hn.’
‘Hee?
Cuma bilang ‘hn’? Setidaknya, perkenalkan juga namamu!’
‘Aku
tidak mau.’
‘NANI?!’
‘Mulai
sekarang, kau adalah pengganti mendiang aniki—kau akan menjadi abangku. Mengerti?’
‘Heee?
Apa maksudnya itu? Hey, hey—‘
.
.
.
-(1)-
Start from now, you will be my precious one. Although, you will hate
me. Forever.
.
.
.
Keduanya saling membenci. Tiada harap
ingin bertemu di kesempatan kedua dalam kehidupan. Bagai dua pelakon sandiwara
dengan karakter yang bertolak belakang. Wajah-wajah itu bersungut-sungut,
menampilkan kegusaran yang melebihi amarah dewa sekalipun. Adalah kesalahan
nasib yang berputar di roda takdir mereka masing-masing. Dipertemukan dalam
lingkar dunia kerja yang menuntut keahlian bertindak dan bersikap profesional. Tak
ada satu pun yang dapat menghitung dengan kalkulasi dunia jurnalisme yang
keduanya geluti sebab apapun yang akan terjadi masih terlalu dini ‘tuk disebut
kepastian. Hanya, kepastian yang absurd pada mereka adalah kehinilan bertingkah
laku seperti dua anak kucing yang bersahabat. Lebih tepatnya, dipersatukan di
sebuh tim khusus pengusut kasus-kasus berbahaya menjadikan dua pemuda ini kerap
kali mendapatkan rentetan masalah yang tiada habisnya. Oh, salahkan rasa benci
itu dari awal. Jika saja bos mereka—si kakek mesum Jiraiya—memahami mata demi
mata yang bersikukuh telah memproklamirkan pakta kebencian tepat di hadapannya,
tentu tak harus ada yang menderita dengan cara seperti ini.
Hingga, di suatu petang yang hangat,
salah satu dari keduanya memutuskan ‘tuk kabur begitu saja dari porsche yang dikemudikan oleh pemuda bermarga
Uchiha pasca melakukan sedikit observasi di sebuah hotel yang konon katanya
digunakan oleh politisi korup untuk melakukan transaksi kotor. Jas hitam yang
dikenakannya mengkusut sesuai gambaran wajahnya. Lelah terasa di tubuhnya dan
ia menemukan sebuah kuil kecil yang dapat dicapai dengan hanya melangkahkan
kaki melalui tangga-tangga batu. Rambut kekuningannya terbias oleh mentari
berwarna oranye. Kedua kakinya bergerak tak teratur, dua alisnya membentuk
gunung terbalik dan bibirnya berbentuk ireguler. Dasi bergaris-garis yang
menggantung di kerah kemejanya melonggar. Bokongnya membentur kursi kayu yang
rusak dan menghiraukan bebunyian lonceng yang bergerak oleh angin.
Ia bersenandung. Menyanyikan lagu anak
kecil di antara dehemen panjang. Matanya berpijar tersentuh pecahan kaca
mentari. Sedikit silau, salah satu tangannya menghalau sinar-sinar itu
menerangi tubuhnya. Hanya dalam beberapa menit saja, kedua kelopak mata itu
menutup dan ia terlelap. Ketika ia terbangun, dilihatnya patung emas berbentuk
kucing dengan kotak-kotak kayu. Jika dia iseng, bisa saja dia mencuri koin-koin
dari dalam kotak sesembahan itu. Tetapi, karma siapa yang tahu.
“Che, memangnya dewa masih bisa mendengar
doa kaum tertindas ya saat ini? Bukannya mereka semua sudah hidup bahagia di
nirvana sana dan melupakan kami, eh?” bisiknya di antara lamunan kosong. Dirogoh-rogohnya
isi saku dalam jas yang dikenakannya, menemukan sebatang rokok dan pemantik
otomatis. Lalu, asap keabuan melayang mengaburkan wajah sang patung dewa. Kekosongan
yang menghampa hati pemuda itu membuatnya tertawa-tawa sendiri. Mengoceh tiada
henti tentang budaya dan tradisi kaumnya yang masih saja mengagungkan dewa-dewa
dari masa lalu itu. Dulu, ia adalah bocah yang tak pernah sekalipun absen
memberikan koin dan meminta permohonan di tempat yang dipijaknya sekarang. Bulan
demi bulan, ia akan ke tempat itu, mengharapkan hal yang sama. Namun, nasib
berkata lain.
“Hei, neko
no Kami. Aku tidak tahu apa kau masih mengenalku tapi permintaanku dari
tahun ke tahun selalu sama kok. Bisa tidak, kau
buat agar aku terlepas dari semua hal yang berhubungan dengan Uchiha? Ayah
Ibuku mati saat aku masih tujuh tahun dan sejak saat itu Paman Fugaku
mengadopsiku. Yah, kalau yang itu sih bukan nasib buruk menurutku. Tetapi,
kenapa kau mengikatku terus dengan
bocah berambut pantat bebek itu, heh? Hingga aku berumur dua puluh enam tahun
pula.” Ia berhenti sesaat, memejamkan mata dan menghembuskan asap-asap keabuan
berisi gas monoksida yang beracun. “Setidaknya, berilah aku jalan menuju hidup
di mana aku bisa memilih apapun dengan bebas. Ya, bebas. Bebas seperti tsubame*—“
Tak ada jawaban, tentu saja. Ia sudah
paham itu. Bibirnya hanya menyunggingkan senyum bermakna benci—seringai yang
bercampur dengan keputusasaan. Ditengadahkannya wajah itu ke atas, mengucapkan
selamat malam pada langit dan menatap angkasa yang angkuh. Anak-anak rambutnya
terkibas oleh angin dan lonceng-lonceng bertirai merah menyambutnya. Di antara
bisikan-bisikan yang diucapkannya pada sang dewa, ada satu yang menyentil hatinya. Anak manusia ini selalu datang
kepadanya dan tak pernah berhenti ‘tuk
berharap. Kedua tangannya tertangkup dan dagu melekat di ujung-ujung jemari
kecilnya. Kesombongan sang dewa telah
runtuh saat anak manusia ini hanya meneteskan air mata tanpa melakukan
kebiasaan kunonya itu.
‘Jika
jiwaku adalah tsubame, bawa ia terbang. Terbang jauh ke suatu tempat di mana
aku tak lagi merasa hampa dan kosong.’
Pekatnya malam bergerumul dengan
asap-asap sisa pembakaran tembakau. Tak ada bintang maupun bulan terlihat di
langit. Satu-satunya cahaya untuknya kembali pulang adalah lampu jalan setinggi
lima kaki. Membuat polkadot-polkadot magnifikasi berwarna kekuningan di antara
jalan-jalan beraspal yang sepi. Entah sudah berapa botol bir diteguknya hanya
untuk semalam saja. Ingin rasanya segera merebahkan tubuh miliknya di atas
kasur empuk dalam apartemen mini itu. Di elevator, kedua matanya berkedip-kedip
tak karuan. Untuk hari ini saja, ia berhasil membuat hidupnya hancur. Ya. Apapun
hanya untuk melupakan satu wajah yang tak pernah luput dari pandangannya hingga
saat ini. Alhasil, dengan kesadaran yang terlalu minim plus efek alkohol di dalam pembuluh nadinya, ia tepat terjatuh di
depan sebuah pintu apartemen berlantai dua belas. Tertidur kembali di tengah-tengah
koridor gedung apartemen tanpa selembar
selimut.
‘Aku...
sangat membencimu, Sasuke. Jika saja jiwaku sama seperti tsubame, aku akan
membuatmu merasakan kebencian yang tumbuh di jiwaku ini. Kau memiliki hidup
yang sempurna, sedangkan aku hanya anak pungut Namikaze yang ayahnya mati
dibunuh oleh bos mafia. Haha. Hidupku sangat ironis, bukan?’
Lalu, mata itu menutup. Saatnya
mengucapkan... selamat tidur, Naruto.
燕
Lonceng aluminium terkena hembusan angin.
Ia tepat tergantung di antara besi penahan tirai jendela ruang tengah. Bersama
itu, boneka anti hujan turut menemani lonceng-lonceng berbentuk silinder
panjang dengan replika tsubame yang
akan terbang mengikuti arah angin. Ada sebuah piano yang tertidur nyaman dengan
sang empunya yang masih terbalut kemeja kerja miliknya. Kertas-kertas
berserakan dan gelas wine menetes
membuat kubangan pulau berwarna keunguan di karpet beludru putih. Pipi pemuda
pucat itu melekat kuat seperti lem adhesiv di meja piano. Saat ia membuka mata,
suara sumbang dari tangan yang menekan tuts-tuts si piano dengan sembarangan
terdengar memekikkan telinga. Ia mengumpulkan nyawa dan mengedipkan mata
berulang kali. Ia akhirnya sadar, ia tak mengenali tempat di mana ia berada
sekarang. Saat ini juga.
“Ini... di mana? Aku di mana?”
Kepala bergerak ke sana ke mari seperti
mesin pencari radar. Terheran-heran sendiri dengan alam yang melingkupinya
sekarang. Setelah berdiri dengan kedua kaki yang terasa lebih ringan,
diedarkannya pandangan ke arah mana saja. Nihil. Tak ada satu pun dari
benda-benda asing di sekitarnya dapat dikenalinya. Jika ini hanya mimpi,
sebaiknya ia harus segera terbangun. Ia tak suka berada di sebuah dunia di mana
ia tak lebih buruk dari seonggok tokoh sampingan yang selalu kalah. Hanya satu
titik fokus yang membuatnya kini menatap tak percaya dan terbelalak kaget. Deretan
bingkai berisi foto-foto sosok yang dahulu begitu dikenalnya.
Anak kecil berambut hitam dengan warna
pupil mata yang sama. Seorang ayah berwajah kaku, namun memiliki hati yang amat
besar, bersama dengan seorang wanita berparas anggun.
“Usso.”
Ia mencari cermin atau benda apapun yang
memiliki indeks bias bernilai satu. Kemudian, menemukan setidaknya cermin
metalik berbentuk konveks. Ia masih berharap jika yang dialaminya masih bagian
dari mimpi panjang akibat rokok, alkohol, dan makanan basi yang memenuhi
lambungnya. Pernah juga ia berkhayal menjadi sosok Ultraman ketika di bangku
sekolah dasar. Memiliki rupa dan perawakan yang sama seperti tokoh khayalannya
itu. Toh, itu hanya sebagian dari mimpi yang dapat hilang saat ia terbangun
esok harinya. Lalu, bila yang dilihatnya saat ini masih mimpi, kenapa rasanya
cubitan itu begitu sakit? Dan... wajah itu
adalah wajahnya, bukan?
“I-i-ini... si-siapa? Kenapa...
wajahku... ini...usso! Usso! USSO!
AAAAAAAAAAAAAA!”
Welcome
to the nightmare, Namikaze Naruto.
Suara gaduh hilir berganti bagai dilema
kapal pecah. Seluruh isi kamar yang dipenuhi dengan foto demi foto seorang
bocah yang sudah sejak dulu dibencinya hingga sekarang kian berantakan oleh
barang-barang yang dihancurkannya sendiri. Yang tersisa hanya lonceng aluminium
dan replika tsubame di sudut jendela
ruang tengah. Keringat menetes dari kening dan dagunya. Ia berbalik,
membenturkan punggung di dinding dan tertunduk frustasi. Meringkuk seperti tikus
kecil yang tersudutkan oleh terkaman singa yang lapar. Memeluk tubuh yang
selalu dibencinya. Rambut kehitamannya dijambak teramat keras oleh
jemari-jemari pucatnya. Tidak. Rambut, mata, kulit, dan wajah itu bukan
miliknya. Sama sekali bukan!
‘Do...
Doshite... Doshite?’
“AAAAAA!”
Neko
Kami menghidupkan sebuah kisah dari dua jiwa yang saling bertukar. Ia
mendengar lafadz doa anak manusia yang hanya menitikkan air mata di antara tawa
lelah yang bergulir di sudut bibirnya. Malam itu, ia masih mengingat baik siapa
dirinya, di mana ia tinggal, dan jenis pekerjaan yang dilaluinya selama lima
tahun ini. Yang sempat terlewatkan oleh dewa
kuno itu adalah sisi pertukaran nasib yang entah sangat tabu dan luar biasa
tak masuk di akal manusia normal. Namun, suara yang berhasil membuncah dari
dasar hatinya bukan jua miliknya. Beberapa jam, pemuda itu hanya meringkuk
dalam posisi yang sama, tak memedulikan kenyataan bila mungkin saja empunya
tubuh ini tak memasukkan sedikit pun makanan ke dalam perutnya.
‘Aku
lapar.’
Ia ingkar pada kebutuhan naluriah
manusia. Oleh karenanya, sejenak mata berpupil gelap itu melirik ke arah jam
besar yang menggantung dengan pendulum emasnya. Sudah pukul sepuluh lewat lima,
pikirnya. Sudah lewat dari jadwal sarapan paginya. Meski tubuh tegap dan
atletis yang menjadi vessel sementara
jiwanya saat ini tampak lebih sehat, ia selalu merasa ada hal aneh yang
tersematkan meski sangat minim dari salah satu organ vitalnya. Lambung,
ingatnya. Dahulu hingga sekarang, sebanyak apapun ia memasukkan cairan alkohol
ke dalam organ pengumpul makanan dan minuman sebelum diserap menjadi energi
oleh tubuh itu, ia takkan memuntahkan balik apa yang telah masuk. Namun,
lambung pemuda Uchiha ini sangat lemah. Begitu ringkih, seperti lambung bayi. Secepat
yang ia duga, kedua kakinya mencari-cari kamar mandi dalam apartemen asing itu.
Mendapatkan wastafel yang cukup bersih untuk dikotori oleh zat asam berbau
busuk.
Ia mendecih. Berkomat-kamit berkata
betapa lemahnya pemuda yang begitu dikenalinya itu. Cermin memantulkan
objektivitas wujudnya yang bermateri. Punggung tangan menghapus sisa muntahan
di sudut bibirnya. Dan, mata hitam itu menyipit beberapa lama sebelum ia
tertawa-tawa seperti orang gila kesurupan.
“HAHAHA! Jadi... ini bukan mimpi ya?
Benar-benar bukan mimpi ya? Souka.” tuturnya
dengan tangan menahan beban tubuh di sisi-sisi wastafel. Aroma busuk yang
keluar dari lambungnya membuatnya ingin muntah kembali. Dan, benar saja. Namikaze
Naruto telah bertukar jiwa dengan satu-satunya orang terakhir di dunia yang tak
ada lebihnya dengan kebencian tingkat absurd.
Ting
tong. Ting tong.
Terakhir kali ia mendengar bunyi bel
apartemennya ialah sekitar lima atau enam bulan yang lalu, saat ibu asuhnya,
Uchiha Mikoto mengantarkan kabar yang kurang menyenangkan perihal suaminya,
Fugaku, yang harus diterbangkan ke Jerman untuk melaksanakan operasi cangkok
hepar (hati). Usianya yang tak muda lagi dan kebiasaan hidup yang kurang sehat
sewaktu muda adalah indikasi besar untuknya mendapatkan penyakit di organ penukar
racun miliknya itu. Sebuah kunci rumah diberikannya pada Naruto, berharap
sekali-sekali pemuda berambut sunkiss itu
rela menyisihkan waktunya untuk menjaga rumah yang kini telah kosong. Pertanyaan
terbesar pasti diujarkannya pada Mikoto, kenapa
bukan Sasuke, namun ia diam dan tersenyum. Mikoto membalas dengan sebuah
pelukan. Naruto merasakan kehangatan yang entah sudah begitu lama tak lagi
diperolehnya semenjak memutuskan untuk berkuliah di Akita. Dan, adalah sebuah
kutukan baginya saat ia dipertemukan kembali dengan anak bungsu keluarga Uchiha
baik hati itu di kampus yang sama, tetapi berbeda fakultas.
Semuanya terekam kembali dalam memorinya,
meski ia memilih tetap berada di kamar kecil itu hingga bel apartemen berhenti
berbunyi. Namun, masih saja berbunyi. Karena kesal, ia melangkah tak karuan dan
menarik grendel pintu dengan kasar. Yang ditemukannya adalah sosok seorang
gadis bermantel. Ia tak melihat tepat kedua mata hitam unik milik Uchiha di
depannya, melainkan sepasang kaki pucat di bawah sana.
“Ha-Halo. Mm, Ohayou gozaimasu, Sasuke-san.”
Tak dikenalinya gadis itu. Kedua matanya
memindai gadis itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sepatu boot si gadis terlihat kotor. Apakah di
luar sana sedang hujan? Ia tak menyadarinya hingga rasa dingin yang teramat
sangat terasa melalui jendela ruang tengah yang terbuka lebar. Sejak kapan,
pikirnya. Ia belum merapikan kegaduhan yang dibuatnya sejam yang lalu. Tak
ayal, sebuah kepala mengintip dari lubang yang terbentuk oleh lengan dan badan.
“Go-gomennasai.
Boleh aku masuk?” tanya gadis pemalu itu. Rambutnya yang panjang tampak
digelung di bawah tengkuknya.
“Kau siapa?” Naruto—Sasuke—bertanya. Melayangkan
pertanyaan yang dijawab dengan tawa tertahan oleh si gadis. Hidungnya yang
mancung terlihat mengendus-endus seperti rubah merah musim dingin.
“Ah, mm, aku mencium aroma wine. Sangat tidak biasa Sasuke-san
mabuk dengan cara seperti itu? Ah—“ Tanpa izin lisan, gadis itu masuk sembari
melepaskan syal berwarna kulit tikus miliknya dan menggantungkannya di samping
pintu. Dilanjutkan dengan melepas sepatu boot-nya.
“—mau kubuatkan kopi? Tapi, kuharap Sasuke-san sudah setidaknya memasukkan
makanan meski sedikit ke dalam lambung Sasuke-san. Bukankah Sasuke-san punya
riwayat gastritis*, ‘kan?”
‘Gastritis,
ya? Pantas saja dia lemah begitu dengan alkohol.’
“Atau, kubuatkan susu non-fat? Dengan tambahan sedikit krim? Umm,
kemarin Sakura-san mengajariku beberapa teknik membuat latte dan waffle di
kedainya. Kalau Sasuke-san mau, akan kubuatkan juga—sebagai bagan praktik untukku.
Dan, oh iya—“
Mata gadis itu membulat, Naruto sudah
yakin itu. Ia terdiam dan membatu seribu kata kemudian. Destruksi massif yang
tampak jelas mengingatkannya pada efek tsunami yang terjadi lima tahun lalu di
negerinya. Saat gadis itu berbalik, ada kekacauan yang muncul dari
sinaps-sinaps sistem sarafnya. Pria di depannya bukan Sasuke Uchiha yang
dikenalnya—bukan calon tunangannya, bukan pemuda berkarakter tenang yang selama
dua tahun belakangan ini dekat dengannya, dan bukan siapa-siapa.
“A-apa yang terjadi dengan—mu?”
Naruto menaikkan bahu. Memasang wajah tak
berdosa dan mendekati gadis itu perlahan-lahan. Bayang gelap menginvasi
tubuhnya di bawah pencahayaan yang minim meski jendela di ruang tengah terbuka
lebar, memberi efek bebunyian dari lonceng aluminium dan replika burung walet
(tsubame) yang terbang bersama hujan dan angin. Ia berbisik seperti iblis. Memburamkan
pengelihatan si gadis yang beberap saat lalu tersenyum bahagia menemui sang
terkasih yang kini tak hidup dalam tubuhnya.
“Hei, kau mau tahu hal menarik? Orang ini
bukan Uchiha Sasuke. Jadi, sebaiknya kau pulang dan kembali terlelap di bawah
selimutmu. Sebab...”
‘...kesempatan
yang baik untuk menghancurkan hidupmu, Sasuke. Kesempatan yang sangat baik.’
“...Uchiha Sasuke telah tewas dan ia
sangat membencimu. Mengerti?”
Nada sumbang bergetar dari balik
kerongkongan si gadis. Sebelum kembali ke alam nyata, hal terakhir yang
diketahuinya hanyalah tatapan selayaknya monster yang tergambar jelas di wajah
tampan kekasih hatinya itu. Makna kata-kata yang terbisik tepat di liang
pendengarannya bagai mantra mistis menyeramkan yang tak ingin lagi didengarnya.
Ia berlari dan membungkam bibirnya. Hanya tangis yang menderas dari sudut mata
tak berpupil itu. Hyuuga Hinata tak memahami sedikit pun bentuk kebencian yang muncul dari sosok Sasuke.
Selanjutnya, sebuah ungkapan justifikasi mutlak terkirim darinya melalui pesan e-mail.
Jika
aku berbuat salah padamu, maafkan aku, Sasuke. Tetapi, kata-katamu tadi sangat
menusuk. Aku tidak suka itu.
Masa bodoh, pikir Naruto. Peduli setan
pada pernyataan gadis bernama Hinata tadi. Yang diinginkannya semenjak
bertahun-tahun yang lalu telah terwujud. Neko
Kami mendengar doanya. Ya. Hal selanjutnya adalah mencari tubuhnya berada. Ia tak bisa mengingat
kembali apa yang telah terjadi sesaat setelah ia berjalan menyusuri koridor
apartemennya semalam. Tidak hingga ia memahami bentuk kehidupan apa yang selama
beberapa jam terakhir ini terjadi pada Sasuke—Naruto—jauh di sana.
‘Kurasa,
pria itu sedang kebingungan sekarang . Sebaiknya, kujenguk saja dia.’
Setelah memastikan tubuhnya terlepas dari
segala aroma tak menyenangkan, ia lalu berganti pakaian. Hujan di luar sana
masih turun begitu deras dan ia sangat benci itu. Untung saja, pria Uchiha ini
memiliki stok pakaian dan sepatu yang pantas dikenakan di saat musim dingin. Ia
sempat mengucapkan sampai jumpa pada sebuah kubikel sepi yang dipenuhi dengan
pecahan kaca dan marmer, botol-botol alkohol dengan cairan merahnya yang
membentuk danau, dan tirai-tirai yang toleh robek. Betapa ia menyukai satu
kesempatan dalam mimpi di mana ia
bisa melakukan hal seenaknya tanpa harus dilarang.
‘Tenang
saja. Saat aku terbangun esok hari, semuanya akan kembali menjadi normal. Ya.’
燕
Ada pelangi yang membentuk parabola di
permukaan langit. Satu-satunya pemandangan yang membuatnya tersadar meski tidak
begitu baik. Ujung kepala hingga kakinya terasa membeku. Ia tertidur hanya
beralaskan selembar kemeja dan jas lusuh beraroma alkohol pekat dari botol bir
kalengan. Kepalanya begitu berat dan pening menyerang tanpa disertai rasa ingin
refluks—memuntahkan kembali isi perutnya. Sungguh aneh, pikirnya. Semestinya,
jika ia benar-benar mabuk, ia akan terbangun dengan muntahan yang menggenang di
samping tubuhnya. Kali ini, ia hanya merasakan efek minimal dari wine yang diteguknya semalam. Pertanyaannya
hanya satu saat ia membuka mata, mengapa ia berada di luar apartemennya? Dan...
apartemen siapa ini?
Seorang anak kecil berjongkok dengan
sepatu converse-nya yang hampir
menyentuh ujung hidung miliknya. Bocah itu mengenakan topi bertuliskan NY dan tampak mengamati sosoknya yang
terlelap dengan posisi miring. Kedua matanya masih berkedip-kedip sebelum
tangan anak itu bergerak-gerak memintanya kembali ke dunia nyata.
“Naruto nii-chan, kau baik-baik saja? Lagi-lagi, tertidur di koridor ya? Naruto
nii-chan lupa di mana meletakkan
kunci apartemen?”
‘Naruto?
Kenapa bocah ini memanggilku dengan nama si bodoh itu.’
“Konohamaru! Ayo berangkat, nanti kau terlambat
lagi!”
Seorang wanita dengan celemek berteriak
dari arah pintu apartemen lain. Ia mendekati sosok putranya yang masih berjongkok
tanpa minat pada seonggok tubuh yang berusaha ‘tuk bangkit. Wanita itu
mengatupkan bibirnya sembari membulatkan mata. Ia menggeleng-gelengkan
kepalanya dan membantu tubuh ringkih pemuda berambut kuning itu agar terbangun
dengan posisi yang benar. Bibirnya yang dipenuhi dengan gincu merah
bergerak-gerak mengeluarkan bahasa verbal yang sama sekali tak dipahami pemuda
itu. Si bocah berlari menuju sosok ayahnya yang baru saja keluar dari pintu
yang sama.
“Tou-chan, Tou-chan! Naruto nii-chan tertidur lagi di koridor
apartemen!” teriak si bocah bernama Konohamaru itu.
Pria berjanggut dengan rambut yang
sedikit melawan arah gravitasi turut membantu si pemuda agar bisa bangkit dan
terduduk meski kepalanya tertunduk bingung. Ia memperkenalkan dirinya sebagai
Asuma, pengacara dan juga merangkap sebagai jaksa penuntut umum di sebuah
pengadilan negeri Tokyo, “Apa benar kau lupa di mana meletakkan kunci
apartemenmu, Naruto? Apa perlu kupanggilkan tukang kunci?”
“Di mana?”
“Eh?”
“Di mana aku? Aku... kenapa ada di sini? Dan,
kenapa kalian memanggilku dengan nama si bod—Naruto?”
Tawa besar terdengar kemudian. Pria itu
menepuk-nepuk bahu Naruto atau mungkin saja menjadi Sasuke Uchiha saat ini. Banyak
tanya yang terlukis di wajah pemuda itu dan tak sekalipun ia sukses mendapatkan
jawaban yang tepat dari pria di depannya, “Hangover,
eh? Sou, akan kutelpon tukang
reparasi kunci yang kukenal, oke?”
“Ti-tidak!”
“Ng? Tidak kenapa, Naruto? Atau kau lebih
memilih untuk tetap berada di koridor selamanya daripada berendam air hangat di
bak apartemenmu, hm? Tenang saja, tukang reparasi kunci yang kukenal ini adalah
teman baikku. Dia sudah sangat profesional dalam mengerjakan hal-hal itu dengan
cepat dan efisien. Percaya padaku.”
Kedipan mata sudah cukup bagi empunya
jiwa itu terbungkam seribu kata. Tak lama berselang, kira-kira setengah jam
berlalu, seorang pak tua berjanggut putih tiba dengan kotak besi berisikan
benda-benda metal perkakas kerja. Dengan senyum ramahnya, ia bekerja tanpa
dipersilakan pemilik pintu apartemen. Asuma telah beranjak menuju kantornya dan
membiarkan pemuda berambut pirang itu masih
terdiam dan terbengong-bengong sendiri. Ia hanya tak paham kondisi yang terjadi
pada dirinya saat ini. Hanya beberapa menit saja dan pintu itu terjebol dengan
sendirinya, menyisakan sebuah kunci cadangan yang dibuat oleh mesin pembuat
kunci milik si pak tua. Anggapannya masih sama, ini hanya hangover—hanya hangover—tenang
saja, besok kau akan terbangun dan menemukan dirimu kembali ke dunia nyata. Kembali ke masa di mana kau masih Uchiha
Sasuke.
Pemuda itu tak berani menginjakkan kaki
di kediamannya sendiri. Oh, jika itu
boleh disebut apartemennya. Sayang sekali, pemahamannya terdistorsi sempurna
oleh khayalan bahwa ia masih berada dalam mimpi panjang akibat dampak alkohol
yang diteguknya. Tetapi, demi Tuhan, ia hanya meneguk tak lebih dari tiga
gelas! Kenapa efek hangover-nya bisa
seburuk ini? Ya, pikirnya demikian. Bukan hanya kaca dan cermin yang
difobiakannya sekarang, melainkan juga benda-benda stainless seperti sendok, garpu, dan pisau. Ia menolak melihat
wajahnya—jika perlu, ia akan memakai topeng.
‘Do—Doshite?
Ano hito ga...’
Mimpikah? Atau... benar-benar kenyataan?
Kutukan siapa ini? Perbuatan siapa ini? Kejadian ini bukan semacam tragedi
dalam film Face Off, ‘kan? Tiba-tiba
saja, saat ia terbangun, wajahnya telah dicuri dan bump, ia menjadi tokoh yang paling dibenci oleh penonton.
’Tenanglah,
Sasuke. Ini hanya mimpi. Ya. Hanya mimpi.’
Dan, ia menganggap segalanya adalah babak
baru dalam skenario parodi mimpi yang
wajib dijalaninya dengan profesional. Tentu saja.
Bip.
Bip. Bip.
“Hn?”
Getaran yang timbul dari ponsel butut
bervibrasi dari arah saku celananya. Ia merogoh-rogoh dan menemukan ponsel
berwarna krem bersama kunci berwarna perak yang diasumsikannya sebagai kunci
apartemennya. Ia merasa keimbisilannya sangat tinggi kemudian. Yah, tidak
masalah, sebab ini hanya mimpi. Ponsel itu tak berhenti berdering hingga ia
cukup yakin harus menekan tombol accept.
Sedetik kemudian, ia menemukan suara yang sudah begitu dikenalnya
berteriak-teriak seperti orang kesetanan.
“Oi,
baka gaki! Kau pasti mabuk lagi, heh? Bukannya sudah kubilang untuk datang
tepat pukul delapan untuk membahas headline berita kasus yang kemarin itu?!
Cepatlah kemari!”
Sambungan terputus dan Sasuke merasa
teradili. Ia menghela nafas panjang. Benar juga. Kasus yang seharusnya ia
tangani bersama pemilik tubuh ini belum
selesai. Jika penanggalan dalam kalender hari ini benar, maka seharusnya ia dan
pemuda berambut durian itu akan mengintai di TKP kejadian transaksi politisi
korup—Ginza Hotel—saat ini juga. Plus, Naruto diberi hukuman ekstra oleh
bosnya yang kejam—Jiraiya—untuk membuat semacam delik kasus sebagai headline majalah mereka. Oh ya, jadi
inti mimpinya kali ini ialah ia bertukar jiwa dengan partnernya itu? Lucu juga.
“Hadapi saja. Seolah ini mimpi panjang.
Kau hanya bermimpi, Sasuke. Ya.”
Mimpi
yang terasa begitu nyata, bukan?
Bau busuk dari arah kemejanya sendiri
menjadi alarm untuknya mencari kamar mandi dan melakukan rutinitas
bersih-bersih tubuh. Diobrak-abriknya lemari demi lemari dalam kamar Naruto dan
hanya menemukan lembaran-lembaran kemeja yang belum disetrika. Dengan lugas,
Sasuke yang kini terjebak dalam tubuh Naruto harus melakukan jenis pekerjaan
yang pada umumnya dibenci oleh Naruto—bersikap rapi. Pada akhirnya, ia hanya
mengenakan kaos oblong bergambar katak dan jaket kulit dengan hoody yang berbulu, berserta sepasang snickers. Diamatinya sesaat tubuh Naruto
yang cukup kuat dibandingkan miliknya yang terlalu lemah. Entah apa yang sudah
masuk ke dalam perut pemuda yang hidup bersamanya semenjak ia masih kanak-kanak
itu. Padahal, kalau dipikir-pikir, sama saja. Pengaruh genetik memang luar
biasa, pikirnya.
Di dalam lemari, kemeja saling tergantung
mengkerut. Masih menyisakan arome lemon dan jeruk yang berasal dari detergen.
Persis dengan bau tubuh Naruto. Sempat pemuda Uchiha itu mencium dirinya—ah
bukan—diri Naruto. Benar-benar nyata dan sangat menenangkan. Oh, sejak kapan
dia begitu tertarik dengan aroma tubuh Naruto? Itu... sangat menggelikan,
bukan? Jika dia masih menganggap dirinya sebagai pria normal, sebaiknya ia
membuang jauh-jauh perasaan entah-apa-itu-namanya
yang aneh ini. Seperti ada yang terbang di dalam perutnya—bagai ribuan
kupu-kupu dan ulat-ulat bergerilya dalam stoples kaca—jika ia berada dalam
radius teramat dekat dengan pemuda blondy
itu.
Klutuk.
Sebuah benda kecil berbentuk mikrofon
terjatuh dari salah satu pakaian yang tergantung. Sasuke memungutnya dan paham
benda apa itu. Satu-satunya benda yang sempat ditinggalkannya pada Naruto
sesaat sebelum mereka melakukan pengintaian pertama di pelabuhan. Sepertinya
masih bekerja meski kabel-kabelnya tampak mencuat. Tidak masalah, yang penting
bisa digunakan. Ada harapan yang tersimpan meski kesempatannya ‘tuk bisa
terwujud amat kecil, Sasuke mungkin sengaja—mungkin.
Akan tetapi, toh dia lupa telah menyisipkan chip
pelacak suara itu pada Naruto dan tak sempat mengecek suara apa saja yang
berhasil terekam. Anehnya, pemuda Uchiha itu hanya tersenyum kecut.
Bukan keterkejutan yang teramat saat dia
berakhir dengan mimpi aneh semacam ini. Sudah lama rasanya ia tak bisa sedekat
ini dengan sosok Naruto. Pemuda itu semakin sulit ‘tuk digapainya. Ya, ia
sadar, semuanya adalah salahnya. Ia tampak tak peduli pada kondisi ayah dan
ibunya. Hanya Naruto yang tersisa saat ayahnya mendekam dalam kesakitan oleh
penyakit yang telah lama dideritanya selama bertahun-tahun. Namun, di hari
akhirnya, Fugaku menyebut nama Sasuke tanpa embel-embel lain. Naruto merasa
tersisihkan dan akibatnya ialah rasa benci yang tumbuh subur kepada
satu-satunya sosok yang hadir paling terakhir di acara pemakaman pria Uchiha yang
bersahaja itu. Jika ia bisa mengembalikan waktu, Sasuke berharap tubuh yang ditumpanginya sekarang jua
bisa menyerap memori jiwanya.
Saatnya ia membuka mata dan mengerjakan
apa yang menjadi kewajibannya meski dalam mimpi sekalipun.
-To Be Continued-
2 komentar:
...A;LSKDJF;LKASDJF;LKDSF--DEMI APA MASIH BERSAMBUNG? *gigit Leon* Tapi beautiful as always. ;w; *terus meluk tapi masih lanjut gigit* #ditampar
Jadi untuk tujuan apa kira-kira Neko-Kami membuat tubuh mereka bertukar?
Uuuuh. Selama baca fanfic ini, dada ini berasa sesak sama nuansa darknya. *tarik napas panjang-panjang*
Kasian amat Naruto udah jadi anak pungutnya Fugaku, trus malah nggak disebut sewaktu meninggal gitu... padahal justru Sasuke yang telat datang ke sana. Nggak heran kalau Naruto jadi sebel sama Sasuke ya. :(
Hinata juga, kasian, kaget nemu Sasuke (Naruto) yang... tiba-tiba 'jahat' begitu.
Si Sasuke asli malah masih antara sadar dan nggak sadar kalo ini kejadian nyata. PFFFT.
Dan saya suka banget dong sama kalimat ini:
Welcome to the nightmare, Namikaze Naruto.
Author lagi ngetroll Naruto sama Sasuke nih. (gtroll) #ditampar
Anyway, jadi ingat sama omongan soal kata-kata ribet di plurk dan... my dear, jujur aja saya yang perbendaharaan katanya masih sangat sempit ini terpaksa buka-buka KBBI sewaktu baca fic Leon ini. #dor
BUT, somehow saya justru ngerasa itu salah satu ciri khas fanficnya Leon, jadi it's okay. ;)
AAAANYWAY, chapter 2-nya ditunggu lho yaaaaa! Apakah Naruto bakal tetap benci sama Sasuke setelah semua ini? Apa yang bakal mereka alami selama tubuh mereka masih tertukar? Kejadian apa yang akan membuat mereka kembali ke tubuh masing-masing lagi? Gak sabar nungguinnya! (gyay)
Keep writing, dear~ :hearts:
Hagu and kisu,
Nad
HAGU HAGU HAGU HAGU~ T////T
Entah bagaimana endingnya ini. Agak seret juga sayanya pas mau bikin endingnya. *plakduesh* LOL.
Tapi kalo kejadian ketuker jiwa itu beneran ada, saya mau lho tukaran jiwa sama 'seseorang yang namanya tidak boleh disebutkan'. ROFL. Yah, namanya juga imajinasi, mana ada ya. Pffft. Hehe.
Heee. Iyaa. Banyakan deskrip dibanding dialog. Keseringan bikin karangan sih. *plakplok* Dan entah mengapa itu yang selalu saya sesali dari gaya penulisan saya. *pundung* Mencoba mengganti dengan banyak dialog, malah saya selalu yang gak puas sendiri. Habis itu, ditambahin banyak-banyak dengan deskrip lagi. *makinpundungdipojokan*
Anihong, makacchu Nad atas komentarnya. It encourages me to write more (ngetik referat maksudnya) *apeusih* XDDD
Sesulit apapun waktu senggang yang saya miliki, saya masih bersyukur bisa diberikan imajinasi yang berlimpah. Karena itulah saya. Memang susah menghilangkan sisi fg-ing yang sudah mendarah daging. Huks.
Semoga si pantat bebek gak babak belur di chap 2 *spoiler* *padahal iya dia emang bakal babak belur* (gtroll to the max).
See you at the next chappie ya~
Posting Komentar